Sukses

Sinar UV dan Vitamin C Bisa Mengobati Virus Corona COVID-19? Ini Faktanya

Sinar ultraviolet (UV) dan vitamin C diklaim dapat mengobati sakit COVID-19 akibat Virus Corona jenis baru

Liputan6.com, Jakarta - Sinar ultraviolet (UV) dan vitamin C diklaim dapat mengobati sakit COVID-19 akibat Virus Corona jenis baru. Faktanya, para ahli belum menemukan bukti ilmiah yang cukup bahwa keduanya dapat membantu melawan Virus Corona baru atau SARS-CoV-2.

"Kami ingin sampaikan kepada masyarakat bahwa tidak ada protokol yang menyarankan atau mengizinkan penggunaan aman sinar UV secara langsung pada tubuh manusia dengan gelombang dan paparan (sinar) yang terbukti dapat membunuh secara efisien berbagai virus seperti SARS-CoV-2 (Virus Corona)," menurut pernyataan bersama yang dikeluarkan kelompok industri Asosiasi Ultraviolet Internasional dan RadTech North America.

Para ilmuwan meyakini bahwa sinar UV cukup berbahaya jika digunakan langsung pada tubuh manusia. "Radiasi UV dapat menyebabkan iritasi kulit dan merusak mata Anda," sebut Organisasi Kesehatan Dunia.

"Tidak aman menggunakan pembersih berbasis UV pada tubuh Anda," demikian peringatan Akademi Ilmu Pengetahuan, Teknik, dan Kedokteran Nasional Amerika Serikat (AS).

"Selama bertahun-tahun, kita telah menggunakan UV di udara serta permukaan dan di ruang-ruang rumah sakit, tanpa ada manusia di ruangan itu," ujar Jim Malley, seorang ahli cahaya UV sekaligus profesor ilmu teknik sipil dan lingkungan di Universitas New Hampshire, kepada USA Today.

"Kita melindungi diri di laboratorium dengan pelindung wajah dan sarung tangan untuk menjaga (paparan) UV ke mata dan kulit kita."

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Tak Ada Bukti untuk Vitamin C

Selain itu, para ahli tetap bersikap skeptis terhadap metode iradiasi darah UV (UV blood irradiation/UBI), yang melibatkan penarikan sejumlah darah dan memaparkannya pada sinar UV.

UBI adalah "pengobatan invasif di mana banyak hal dapat berubah menjadi sangat buruk," tulis Edzard Ernest, profesor emeritus dari Universitas Exeter, pada April lalu. Dia juga menambahkan bahwa UBI "gagal total" dalam uji klinis yang kuat.

Sedangkan untuk vitamin C, banyak ilmuwan mengemukakan ada sedikit bukti bahwa vitamin itu memberikan kekebalan terhadap Virus Corona baru, atau mengurangi gejala para pasien COVID-19 yang diberi dosis tinggi.

William Schaffner, profesor ilmu pengobatan preventif dan penyakit menular di Pusat Medis Universitas Vanderbilt di Negara Bagian Tennessee, AS, mengatakan kepada The New York Times, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa suplemen vitamin C dapat membantu mencegah COVID-19.

"Jika ada kemajuan, itu akan sangat kecil," ujarnya.

Selain itu, belum ada hasil yang didapat dari uji klinis yang diluncurkan pada 11 Februari lalu oleh para peneliti dari Rumah Sakit Zhongnan dari Universitas Wuhan, China, untuk menguji kemanjuran dan keamanan infus vitamin C bagi pengobatan para pasien COVID-19.

Menurut laporan media pada April, Charles Mok (56), seorang dokter asal Michigan yang mengklaim dalam beberapa video bahwa infus vitamin C dapat mengurangi gejala yang parah dan durasi penyakit tersebut, serta meningkatkan kekebalan bagi mereka yang berisiko tinggi tertular COVID-19, telah dituntut dengan pasal penipuan perawatan kesehatan dan konspirasi melakukan penipuan perawatan kesehatan.