Liputan6.com, Jakarta- Kapan waktu terbaik untuk diuji antibodi pada Virus Corona COVID-19?Â
Sebuah tim peneliti Bay Area (UCSF, UC Berkeley, Chan Zuckerberg Biohub, dan Innovative Genomics Institute) baru-baru ini mengevaluasi 14 antibodi dan menemukan hanya tiga yang secara konsisten dapat diandalkan.
Baca Juga
Ania Wajnberg, Direktur Pengujian Antibodi Klinis di Rumah Sakit Mount Sinai di New York, menyatakan bahwa hasil tes tersebut dapat berubah berdasarkan pada saat seseorang diuji selama sakit.
Advertisement
Pada bulan April, Food and Drug Administration Amerika Serikat menyetujui penggunaa klinis hasil uji antibodi proyek Mount Sinai.
Temuan menunjukkan bahwa tiga dari 600 lebih pasien yang telah dikonfirmasi kasus Virus Corona hasil antibodinya positif. Sementara itu, lebih dari 700 "kasus yang dicurigai" - orang yang memiliki gejala dan hidup dengan seseorang yang dites positif atau diberi tahu oleh dokter bahwa mereka kemungkinan terinfeksi - hanya 38 persen yang hasil antibodinya positif.
Ania Wajnberg kemudian menawarkan pemberian saran tentang kapan harus diuji dan bagaimana kita memahami hasilnya, seperti dikutip dari Science Alert, Senin (11/5/2020).
Saksikan Video Berikut Ini:
Indikasi Kekebalan Jangka Panjang yang Lebih Baik
RS Mount Sinai melakukan tes untuk mencari immunoglobulin G (IgG) yaitu antibodi yang paling umum ditemukan dalam darah dan cairan tubuh lainnya.
Secara umum, tubuh kita memproduksi IgM sebagai respons pertama terhadap infeksi virus. IgM juga dikaitkan dengan infeksi virus yang lebih akut. Itu berarti IgG biasanya merupakan indikator kekebalan jangka panjang yang lebih baik.
Ania Wajnberg juga menambahkan bahwa untuk mendapatkan hasil yang paling baik, tes antibodi yang terbaik jika kita menunggu tiga minggu setelah dinyatakan positif.
Ania Wajnberg juga merekomendasikan untuk menunggu dua minggu setelah gejala Corona jenis baru terdeteksi untuk melakukan tes antibodi, meskipun dia mengatakan seorang pasien yang telah sakit selama beberapa minggu atau lebih cenderung mengembangkan antibodi pada saat itu.
Berdasarkan penemuan para peneliti, durasi gejala tidak mempengaruhi respons antibodi seseorang. Sebaliknya, jumlah antibodi yang dihasilkan seseorang mungkin terkait dengan perbedaan bawaan dalam respon imun seseorang, kata Ania Wajnberg.
Â
Advertisement