Sukses

Layanan Antar Makanan Marak Saat Pandemi Corona, Sampah Plastik Meningkat di Thailand

Selama pandemi Virus Corona COVID-19, banyak orang mengandalkan layanan antar makanan ke rumah dan membuat sampah plastik semakin meningkat.

Liputan6.com, Bangkok - - Sejak pandemi Virus Corona COVID-19 muncul, pengiriman makanan ke rumah-rumah telah menjadi kebiasaan baru bagi banyak orang. Salah satunya seperti yang terjadi di Thailand.

Sementara layanan pengiriman makanan menawarkan lebih banyak pilihan dan kenyamanan kepada konsumen, mereka juga telah menambahkan jumlah sampah plastik ke sistem pengelolaan limbah Thailand yang sedang mengalami kesulitan. Demikian seperti dikutip dari Channel News Asia, Selasa (12/5/2020).

Sebelum pandemi melanda, negara Asia Tenggara itu menghasilkan sekitar 5.500 ton sampah plastik per harinya, menurut presiden Lembaga Lingkungan Thailand (TEI) Dr Wijarn Simachaya. Sedangkan saat ini, jumlahnya telah melonjak menjadi 6.300 ton, katanya.

"Dampak dari layanan pengiriman makanan sangat besar, terutama di Bangkok, di mana industrinya telah berkembang pesat," katanya.

Penggunaan plastik melonjak, bahkan ketika total sampah yang dihasilkan di ibukota Thailand telah menurun.

Saksikan video pilihan di bawah ini: 

2 dari 3 halaman

Penggunaan Plastik Meningkat

Bangkok biasanya menghasilkan sekitar 10.500 ton total limbah per hari, tetapi jumlahnya telah turun 12 persen sejak Maret, sebagian besar karena pandemi global telah menghentikan aktivitas para wisatawan. 

“Namun, jumlah sampah plastik di Bangkok telah meningkat selama periode ini. Pertumbuhannya signifikan,” kata Dr Wijarn, seraya menambahkan bahwa kota ini sekarang menghasilkan hampir 3.000 ton sampah plastik setiap hari.

Umur panjang produk plastik, yang bentuk aslinya dapat bertahan 400 tahun, menghasilkan sebagian besar dari limbahnya berakhir ke tempat pembuangan sampah.

Menurut Departemen Pengendalian Pencemaran, plastik menyumbang hingga 12 persen dari total limbah Thailand setiap tahun, di mana jumlahnya sekitar 2 juta ton. 

Namun, hanya 25 persen saja yang didaur ulang sementara sisanya sebagian besar plastik sekali pakai dan sering berakhir di lokasi pembuangan atau di saluran air.

Dalam beberapa tahun terakhir, kampanye anti-plastik telah meningkatkan kesadaran publik tentang masalah lingkungan di Thailand. 

Pada 1 Januari, negara itu menyambut gerakan nasional untuk secara sukarela melarang kantong plastik sekali pakai. Larangan ini telah menerima dukungan dari Asosiasi Pengecer Thailand, yang memiliki sekitar 24.500 saluran distribusi ritel di seluruh negeri.

 

3 dari 3 halaman

Hentikan Upaya Pengurangan Plastik

Tetapi dengan krisis kesehatan yang sedang berlangsung seperti sekarang ini, Dr Wijarn mengatakan pembatasan gerakan publik dan ketergantungan yang meningkat pada layanan pengiriman makanan, serta platform belanja online, telah menghentikan upaya nasional untuk mengurangi limbah plastik.

“Satu pesanan pengiriman menghasilkan rata-rata empat barang plastik. Beberapa jenis makanan seperti sup mie datang dengan berbagai bumbu dalam kantong plastik. Banyak jenis plastik yang dapat didaur ulang tetapi masalahnya saat ini adalah plastik tidak selalu masuk ke sistem limbah,” katanya.

Thailand menghadapi tantangan lingkungan yang serius yang disebabkan oleh jutaan ton plastik. Bahkan, sampah plastik adalah kontributor terbesar kelima di dunia untuk limbah laut.

Laporan tahun 2015 oleh kelompok advokasi lingkungan yang berbasis di Washington DC Ocean Conservancy menunjukkan lebih dari setengah limbah plastik di lautan berasal dari lima ekonomi yang berkembang pesat - China, Indonesia, Filipina, Vietnam, dan Thailand.

Besarnya sampah plastik mungkin telah membuat banyak warga Thailand lebih sadar lingkungan. Tetap saja gaya hidup tanpa limbah atau plastik rendah tetap terbatas pada jaringan kecil orang karena kehidupan bisa murah dan mudah dengan plastik.

Sementara seperempat limbah plastik - terutama botol plastik - didaur ulang setiap tahun, barang-barang plastik sekali pakai seperti sendok garpu dan gelas dari layanan makanan yang dapat dibawa pulang seringkali berakhir di tempat pembuangan sampah karena dianggap tidak berharga dan karenanya tidak dikumpulkan oleh perusahaan daur ulang utama.