Liputan6.com, Jakarta - Hewan memiliki cara misterius untuk menemukan jalan pulang. Baik ikan, serangga, dan burung ternyata menavigasi rute berbahaya dengan indera kekuatan super yang hanya bisa diimpikan manusia.
Untuk beberapa spesies, kebanggaan terhadap lingkungan lebih pada kelangsungan hidup daripada sentimen. Banyak makhluk melakukan perjalanan ratusan mil untuk menemukan sumber daya sebelum kembali ke rumah untuk kawin.
Baca Juga
Bagaimana mereka tahu ke mana harus pergi?
Advertisement
Jawabannya, aroma dan magnetisme khas membantu para binatang bepergian, tetapi beberapa bagian dari proses ini adalah sebuah misteri, masih misterius seperti dikutip dari Popsci.com, Rabu (20/5/2020).
Hewan air umumnya hanya mengikuti arus ke perairan terbuka, tetapi kesadaran aromatik sangat berguna ketika tiba saatnya membalikkan jalur untuk bereproduksi. Danau Sturgeon, misalnya, ikan-ikan Sturgeon di dalamnya menetas di kedalaman berkerikil di Sungai Kewaunee di Wisconsin, mereka lalu berpetualang hingga 100 mil ke Great Lakes, tempat mereka dewasa selama satu atau dua dekade sebelum akhirnya kembali.
Kurang dari empat persen ikan menetap di tempat yang baru. "Mereka membekas di sungai tempat mereka dilahirkan," jelas Jessica Collier, ahli biologi di US Fish and Wildlife Service di Green Bay.
Menurut ilmuwan, sturgeon dapat menggunakan sesuatu seperti kumis untuk merasakan protein di dalam air. Hal itu memungkinkan mereka untuk mengendus rute mereka.
Saksikan juga Video Ini:
Bergantung Pada Magnet Bumi
Sementara itu, spesies yang menempuh jarak yang lebih jauh dapat memanfaatkan magnet Bumi.
Burung Arctic terns terbang 12.000 mil dari kutub ke kutub; loggerhead turtles atau penyu tempayan berlayar 8.000 mil dari Jepang ke Baja; dan ngengat bogong terbang 600 mil melintasi Australia menuju musim dingin di gua-gua. Serangga itu sangat tepat sehingga mereka sering kawin dan mati di hamparan batu yang sama tempat mereka dilahirkan.
"Tetap saja, ngengat tidak sepenuhnya bergantung pada daya tarik planet ini," kata Eric Warrant, ahli zoologi dari Lund University di Swedia.
Dia menyamakan para ngengat dengan pejalan kaki yang memegang kompas: Mereka mengatur arah dengan arah mata angin, lalu menyesuaikan berdasarkan landmark visual. Tetapi bahkan sistem multisensor ini tidak menceritakan keseluruhan cerita. Sisanya masih misteri.
"Induk mereka telah mati selama tiga bulan sebelum mereka memiliki sayap," kata Waran. "Mereka tidak pernah diajari ke mana harus pergi, entah bagaimana mewarisi naluri untuk mencari titik arah tertentu."
Memecahkan impuls yang didorong oleh gen ini akan memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang bagaimana lebih banyak hewan menavigasi. Hal ini juga diyakini dapat membantu menilai apakah intuisi yang dikodekan dari DNA dapat menahan perubahan manusia seperti bendungan dan polusi cahaya.
Dan jika tidak bisa, penelitian setidaknya dapat menawarkan ide tentang bagaimana membantu makhluk hidup mencapai tujuan mereka.
Advertisement