Sukses

Polisi yang Menewaskan Pria Kulit Hitam di AS Didakwa Pasal Pembunuhan

Seorang polisi Minneapolis telah ditangkap dan didakwa melakukan pembunuhan tak berencana menyusul kematian seorang pria kulit hitam tak bersenjata dalam sebuah proses penahanan.

Liputan6.com, Washington DC - Seorang polisi Minneapolis telah ditangkap dan didakwa melakukan pembunuhan tak berencana menyusul kematian seorang pria kulit hitam tak bersenjata dalam sebuah proses penahanan.

Derek Chauvin, yang berkulit putih, terlihat dalam rekaman berlutut di leher George Floyd yang berusia 46 tahun pada Senin 25 Mei 2020. Dia dan tiga petugas lainnya telah dipecat dari satuan kepolisian.

Kasus tersebut telah memicu demonstrasi berujung penjarahan dan pembakaran di kota Minnesota. Aksi protes meluas ke skala nasional, memicu kemarahan AS atas pembunuhan polisi terhadap warga kulit hitam Amerika.

Jaksa Wilayah Hennepin, Mike Freeman mengatakan Chauvin didakwa melakukan pembunuhan tingkat tiga (third-degree murder), demikian seperti dikutip dari BBC, Sabtu (30/5/2020).

Dia mengatakan tengah "menyiapkan dakwaan" untuk tiga petugas lainnya tetapi tidak memberikan rincian lebih lanjut.

Freeman mengatakan kantornya "akan mendakwa kasus ini secepat bukti telah diberikan kepada kami".

"Sejauh ini (kasus tersebut adalah) dakwaan yang tercepat yang pernah kami buat untuk seorang polisi," katanya.

Menurut pengaduan pidana, Chauvin dituduh menyebabkan kematian Floyd yang berusia 46 tahun "dengan melakukan tindakan yang sangat berbahaya bagi orang lain."

Dia juga diduga lalai, "menciptakan risiko yang tidak masuk akal dan mengambil risiko menyebabkan kematian atau kerusakan tubuh yang besar."

Dokumen pengadilan menuduh Chauvin memiliki "sifat bengis, tanpa memperhatikan kehidupan manusia".

Kasus mencuat setelah sebuah video yang merekam proses peringkusan George Floyd beredar. Dalam rekaman, polisi yang menanggapi laporan penggunaan uang palsu mendekati Floyd di kendaraannya pada Senin 25 Mei.

Menurut polisi, ia disuruh menjauh dari mobil, secara fisik melawan petugas, dan diborgol.

Video kejadian tidak menunjukkan bagaimana konfrontasi dimulai, tetapi seorang perwira kulit putih dapat dilihat dengan lututnya di leher Floyd, menjepitnya ke bawah.

George Floyd dapat terdengar mengatakan "tolong, aku tidak bisa bernapas" dan "jangan bunuh aku".

Chauvin berlutut di leher Mr Floyd selama delapan menit dan 46 detik - hampir tiga menit setelah Floyd menjadi tidak responsif.

Hampir dua menit sebelum dia mengangkat lututnya, petugas lainnya memeriksa denyut nadi tangan kanan Floyd, namun tidak dapat menemukannya.

Laporan lengkap oleh pemeriksa medis daerah belum dirilis, tetapi pengaduan menyatakan bahwa pemeriksaan post-mortem tidak menemukan bukti "asfiksia traumatis atau pencekikan."

Pemeriksa medis mencatat George Floyd memiliki kondisi jantung yang mendasarinya dan kombinasi dari semua ini, "potensi minuman keras dalam sistemnya" dan ditahan oleh petugas "kemungkinan berkontribusi pada kematiannya."

Buku pedoman kepolisian Minnesota menyatakan bahwa petugas yang dilatih tentang cara menekan leher tanpa memberikan tekanan langsung ke jalan napas dapat menggunakan lutut di bawah kebijakan penggunaan kekuatannya. Ini dianggap sebagai pilihan kekuatan yang tidak mematikan.

 

Simak video pilihan berikut:

2 dari 2 halaman

Respons Donald Trump

Di Gedung Putih pada Jumat 29 Mei, Presiden Donald Trump menyebut insiden itu "hal yang mengerikan" dan mengatakan ia telah berbicara dengan keluarga Floyd, yang ia sebut sebagai "orang-orang hebat".

Dia mengatakan dia telah meminta agar departemen kehakiman mempercepat penyelidikannya.

Trump menambahkan: "Saya mengerti rasa sakitnya."

Namun dia juga menyerukan protes damai, dengan mengatakan "para penjarah tidak seharusnya menghilangkan suara-suara dari begitu banyak demonstran damai."

Presiden mengatakan, dia telah meminta departemen kehakiman untuk mempercepat penyelidikan yang diumumkan pada hari Jumat tentang apakah ada hukum hak-hak sipil dilanggar dalam kematian Floyd.

Sebelumnya, presiden menggambarkan para perusuh sebagai "penjahat" yang tidak menghormati George Floyd.

Jaringan media sosial Twitter justru menuduh Trump mendukung kekerasan dalam sebuah unggahan yang mengatakan: "Ketika penjarahan dimulai, penembakan dimulai."