Liputan6.com, Jakarta - Israel mengeluarkan perintah deportasi untuk mengusir warga Palestina dari Masjid Al Aqsa di Yerusalem Timur. Perintah itu langsung menuai kecaman dari Palestina.
"Sekali lagi, Israel bertekad menunjukkan penghinaan terhadap kebebasan beribadah dan beragama, yang tampak jelas dengan semakin meningkatnya pelanggaran terhadap kebebasan beribadah warga Palestina, terutama di wilayah pendudukan Yerusalem," ujar anggota Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Hanan Ashrawi, seperti dilansir Xinhua, Senin (8/6/2020).
Baca Juga
Perintah deportasi terbaru itu dikeluarkan otoritas Israel untuk Imam Besar Masjid Al Aqsa Sheikh Ekrima Sabri. Israel melarang Sheikh Ekrima Sabri memasuki tempat suci tersebut selama empat bulan.
Advertisement
Ashrawi menuding Israel melakukan "upaya terkoordinasi dan sistematis untuk mengeksekusi rencana pencaplokan wilayah yang disertai sejumlah tindakan dengan tujuan membungkam suara warga Palestina, menghapus keberadaan warga Palestina, dan mengobarkan api perselisihan sektarian."
Dia meminta Israel untuk menghormati status tempat suci tersebut sebagai rumah ibadah.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Batalkan Semua Perjanjian
Palestina membatalkan semua perjanjian dan nota kesepahaman dengan Israel dan Amerika Serikat (AS). Keputusan itu diambil sebagai protes keras terhadap rencana Israel mencaplok atau aneksasi sejumlah bagian di Tepi Barat.
"Organisasi Pembebasan Palestina dan negara Palestina dibebaskan dari semua perjanjian dan nota kesepahaman dengan pemerintah Amerika dan Israel, serta dari seluruh kewajiban yang didasarkan pada nota kesepahaman dan perjanjian ini, termasuk yang berkaitan dengan keamanan," ujar Presiden Palestina Mahmoud Abbas pada akhir pertemuan mendesak yang diadakan di Ramallah pada Selasa 19 Mei waktu setempat.
Israel akan memikul semua tanggung jawab dan kewajiban sebagai occupying power atau pihak yang melakukan pendudukan di wilayah Palestina, dengan segala konsekuensi dan dampaknya berdasarkan pada hukum internasional dan hukum humaniter. "Khususnya Konvensi Jenewa Keempat tahun 1949," kata Abbas.
Konvensi tersebut mengatur bahwa occupying power bertanggung jawab untuk melindungi penduduk sipil yang berada di bawah pendudukan beserta properti mereka; mengkriminalisasi hukuman kolektif; melarang pencurian sumber daya, perampasan dan pencaplokan tanah; serta melarang pemindahan paksa penduduk.
Advertisement
Sebut AS Bertanggung Jawab
Keputusan Abbas itu disampaikan sebagai tanggapan atas pernyataan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, saat pemerintahan baru mereka dilantik di hadapan parlemen pada Minggu 17 Mei, mengenai rencananya untuk mencaplok sejumlah bagian di Tepi Barat. Bahkan Netanyahu akan menerapkan hukum Israel di permukiman-permukiman Israel yang dibangun di wilayah tersebut,
Dalam pidatonya, Abbas menyatakan bahwa pemerintah AS "bertanggung jawab penuh atas penindasan yang menimpa rakyat Palestina dan kami menganggap mereka sebagai mitra utama pemerintah pendudukan Israel dalam semua keputusan serta tindakannya yang agresif dan tidak adil terhadap rakyat kami."
Abbas kemudian mendesak negara-negara yang menolak rencana perdamaian Timur Tengah Presiden AS Donald Trump, atau dikenal sebagai Kesepakatan Abad Ini, untuk mengambil "langkah penolakan dan menjatuhkan sanksi serius guna mencegah pemerintah pendudukan Israel mengimplementasikan skema mereka dan melakukan penolakan terus-menerus atas hak-hak warga negara kami."
Lebih lanjut, Abbas menyatakan bahwa negara Palestina akan terus maju dengan menandatangani dan bergabung dalam lebih banyak perjanjian dan konvensi internasional.
"Kami akan terus memburu (pemerintah) pendudukan atas kejahatannya terhadap warga kami di semua otoritas dan pengadilan internasional. Dalam konteks ini, kami menegaskan kepercayaan kami pada independensi dan integritas Mahkamah Pidana Internasional," tambahnya.