Liputan6.com, Jakarta - Peneliti dari Imperial College London berkata jumlah kematian akibat Virus Corona COVID-19 di Eropa bisa menyentuh jutaan. Untungnya, hal itu berhasil dicegah oleh [lockdown](4269551 "").
Studi itu menyebut lockdown di seluruh dunia berhasil menyelamatkan banyak nyawa.
Advertisement
Baca Juga
Dilaporkan BBC, Selasa (9/6/2020), studi Imperial College London melihat dampak pembatasan di 11 negara Eropa, yakni Austria, Belgium, Denmark, Prancis, Jerman, Italia, Norwegia, Spanyol, Swedia, Swiss, dan Inggris sampai awal Mei.
Peneliti menggunakan modelling penyakit untuk memprediksi berapa banyak pasien meninggal jika tidak ada lockdown.
Hasilnya, 3,2 juta orang berpotensi meninggal pada 4 Mei lalu jika tak ada keputusan menutup bisnis-bisnis dan menyuruh masyarakat tetap di rumah. Jutaan orang itu selamat dari ancaman maut berkat lockdown.
"Lockdown menghindari jutaan kematian, kematian-kematian itu dapat menjadi tragedi," ujar peneliti Dr. Seth Flaxman dari Imperial.
Studi itu berdasarkan asumsi masyarakat tak mengubah perilaku mereka terhadap ancaman COVID-19 dan rumah sakit tidak mengalami lonjakan.
Studi itu tidak membahas konsekuensi kesehatan dari lockdown yang kemungkinan butuh bertahun-tahun sebelum bila diketahui.
Penelitian lain dari University of California, Berkeley, menyebut bahwa kebijakan lockdown, seperti penutupan sekolah dan perintah tetap di rumah yang berlangsung di China, Korea Selatan, Iran, Prancis, dan AS. Hasilnya, 539 juta orang berhasil diselamatkan dari COVID-19.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Ancaman Gelombang Dua
Model dari Imperial College juga menunjukan bahwa herd immunity bisa terjadi tanpa lockdown. Tanpa lockdown, 15 juta warga Eropa berpotensi terinfeksi.
Peneliti menyebut pandemi di Eropa masih di tahap awal. Jika lockdown mulai dicabut, ada risiko virusnya bisa menyebar lagi.
"Ada risiko nyata bahwa jika mobilitas kembali naik, maka akan ada gelombang kedua yang datang cukup cepat, dalam sebulan atau dua bulan," ujar Dr. Samir Bhatt dari Imperial College.
Studi dari Imperial College dan UC Berkeley itu sama-sama diterbitkan di jurnal ilmiah Nature.
Advertisement