Sukses

Terungkap Misteri Hilangnya Penciuman pada Pasien Virus Corona

Sejumlah peneliti berhasil mengungkap alasannya, dengan menganalisis hasil CT-scan hidung dan sinus orang-orang yang terinfeksi virus corona dan mengeluhkan hilangnya indra penciuman mereka.

Liputan6.com, London - Dari laporan pertama yang keluar dari Wuhan, Iran dan kemudian Italia, sejumlah petugas medis tahu bahwa kehilangan indra penciuman (anosmia) adalah gejala yang signifikan dari seseorang yang terserang penyakit COVID-19 yang disebabkan virus corona.

Sekarang, setelah berbulan-bulan laporan, baik temuan klinis anekdotal dan lebih ketat, pakar telah memiliki penjelasan bagaimana virus ini dapat menyebabkan hilangnya indra penciuman pada pasien, demikian seperti dikutip dari Sciencealert.com, Sabtu (27/6/2020).

Salah satu penyebab hilangnya bau yang paling umum adalah infeksi virus, seperti pilek, sinus atau infeksi saluran pernapasan atas lainnya --yang mana virus tersebut masuk dalam keluarga coronavirus, seperti virus penyebab penyakit COVID-19, SARS, dan MERS.

Dalam kebanyakan kasus non-COVID-19, indra penciuman kembali ketika gejalanya hilang, karena kehilangan bau hanyalah hasil dari hidung tersumbat, yang mencegah molekul aroma mencapai reseptor penciuman di hidung. Pada beberapa kasus, kehilangan bau dapat bertahan selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun.

Namun, untuk COVID-19 yang disebabkan SARS-nCoV-2, pola kehilangan bau berbeda. Banyak orang dengan virus corona COVID-19 melaporkan kehilangan indra penciuman yang tiba-tiba dan kemudian secara tiba-tiba kembali ke indra penciuman normal dalam satu atau dua minggu.

Menariknya, banyak dari orang-orang ini mengatakan hidung mereka mampu mengindra dengan baik, sehingga kehilangan bau tidak dapat dikaitkan dengan hidung yang tersumbat. Bagi yang lain, gejala hilangnya penciuman bisa berkepanjangan dan beberapa minggu kemudian mereka masih tidak bisa mengindra. Setiap teori anosmia dalam virus corona COVID-19 harus menjelaskan kedua pola ini.

Kembalinya indra penciuman yang tiba-tiba ini menunjukkan hilangnya bau obstruktif di mana molekul aroma tidak dapat mencapai reseptor di hidung (jenis kehilangan indra penciuman yang sama dengan yang didapat dengan menutupkan kain pakaian di hidung).

Sekarang, sejumlah peneliti berhasil mengungkap alasannya, dengan menganalisis hasil CT-scan hidung dan sinus orang-orang yang terinfeksi SARS-nCoV-2 dan mengeluhkan hilangnya kemampuan indra penciuman. Peneliti dapat melihat bahwa bagian hidung yang melakukan penciuman, celah penciuman (olfactroy cleft), diblokir dengan jaringan lunak dan lendir yang bengkak --atau yang dikenal sebagai cleft syndrome.

Pada pasien yang sehat, saluran hidung dan sinus mereka justru terlihat normal.

 

2 dari 3 halaman

Kerusakan Sel pada Indra Penciuman

Peneliti memahami bahwa cara SARS-CoV-2 menginfeksi tubuh adalah dengan menempel pada reseptor ACE2 pada permukaan sel yang melapisi saluran pernapasan bagian atas. Sebuah protein bernama TMPRSS2 kemudian membantu virus menyerang sel.

Begitu berada di dalam sel, virus dapat bereplikasi, memicu respons peradangan sistem kekebalan tubuh. Ini adalah titik awal untuk kekacauan dan kehancuran yang disebabkan oleh virus ini sekali mereka menjangkit di dalam tubuh.

Awalnya, peneliti berpikir bahwa virus itu mungkin menginfeksi dan menghancurkan neuron penciuman. Ini adalah sel-sel yang mentransmisikan sinyal dari molekul aroma di hidung manusia ke area di otak di mana sinyal-sinyal ini ditafsirkan sebagai "bau".

Namun, kolaborasi internasional menunjukkan baru-baru ini bahwa protein ACE2 yang dibutuhkan virus untuk menyerang sel tidak ditemukan pada neuron penciuman. Tetapi mereka ditemukan pada sel-sel yang disebut "sustentacular cells", yang mendukung neuron penciuman.

Peneliti beranggapan bahwa sustentacular cells itu kemungkinan adalah sel-sel yang dirusak oleh virus, dan respons imun akan menyebabkan pembengkakan area tersebut tetapi membiarkan neuron penciuman tetap utuh.

Ketika sistem kekebalan telah berurusan dengan virus, pembengkakan mereda dan molekul aroma memiliki rute yang jelas ke reseptor mereka yang tidak rusak dan indra penciuman kembali normal.

Namun, satu pertanyaan tetap menggantung: mengapa bau tidak kembali dalam beberapa kasus? Ini lebih teoretis tetapi mengikuti dari apa yang kita ketahui tentang peradangan pada sistem lain. Peradangan adalah respons tubuh terhadap kerusakan dan menghasilkan pelepasan bahan kimia yang menghancurkan jaringan yang terlibat.

Ketika peradangan ini parah, sel-sel terdekat lainnya mulai rusak atau hancur oleh "kerusakan percikan" ini. Dan peneliti percaya bahwa hal itu merupakan tahap kedua, di mana neuron penciuman rusak.

Pemulihan bau jauh lebih lambat karena neuron penciuman membutuhkan waktu untuk regenerasi dari pasokan sel-sel induk dalam lapisan hidung.

Pemulihan awal sering dikaitkan dengan distorsi indra penciuman yang dikenal sebagai parosmia, di mana hal-hal tidak berbau seperti dulu. Untuk banyak penderita parosmics, misalnya, bau kopi sering digambarkan sebagai bau arang terbakar, kimia, kotor, yang mengingatkannya pada limbah.

 

3 dari 3 halaman

Fisioterapi Hidung

Indra penciuman disebut 'indra Cinderella' karena pengabaiannya oleh penelitian ilmiah. Tetapi telah menjadi yang terdepan dalam pandemi ini.

Hikmahnya adalah bahwa kita akan belajar banyak tentang bagaimana virus terlibat dalam menghilangkan indra penciuman. Tapi harapan apa yang ada untuk orang-orang yang kehilangan penciuman sekarang?

Berita baiknya adalah bahwa neuron penciuman dapat beregenerasi. Mereka tumbuh kembali di hampir kita semua, sepanjang waktu. Kita dapat memanfaatkan regenerasi itu dan membimbingnya dengan "fisioterapi untuk hidung": atau pelatihan penciuman.

Ada bukti kuat bahwa banyak bentuk gejalan kehilangan indra penciuman terbantu oleh paparan berulang-ulang terhadap serangkaian aroma tetap setiap hari dan tidak ada alasan untuk berpikir bahwa itu tidak akan bekerja pada hilangnya indra penciuman yang disebabkan oleh COVID-19.

 

*Artikel ini menyadur dari tulisan di Sciencealert.com yang berjudul "COVID-19 Can Cause Loss of Smell, And Scientists Finally Discovered Why", yang menerbitkan ulang artikel asli dari The Conversation karya Simon Gane, Konsultan Rhinologist dan ahli bedah THT, City University of London; dan Jane Parker, Associate Professor, Flavour Chemistry, University of Reading --di bawah lisensi Creative Commons.