Sukses

Iran Ingin Jadikan Donald Trump Buronan Internasional, Interpol Menolak

Iran ingin Donald Trump ditahan akibat pembunuhan Jenderal Qasem Soleimani. Interpol menolak.

Liputan6.com, Tehran - Jaksa di Iran menuntut tanggung jawab dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump atas pembunuhan terhadap Jenderal Qasem Soleimani. Iran juga meminta agar Interpol turut ikut membantu. 

Donald Trump dikenai pasal pembunuhan dan terorisme bersama 35 pejabat AS lainnya. Iran lantas mengirim permintaan red notice kepada Interpol, namun permintaan agar Donald Trump menjadi buronan internasional ditolak.

Dilansir AP News, Selasa (30/6/2020), Interpol tidak akan menerima permintaan Iran, sehingga Donald Trump tidak akan ditahan. Interpol berkata pihaknya tidak terlibat aksi terkait politik sehingga permintaan Iran tidak diindahkan Interpol. 

Jaksa Ali Alqasimehr dari Iran berkata akan terus meminta pertanggungjawaban Donald Trump meski sudah tak lagi jadi presiden. Selain Trump, Iran tak mengungkap nama 35 pejabat terkait lain terlibat.

Perwakilan khusus AS untuk Iran, Brian Hook, menganggap permintaan red notice Iran adalah hal konyol dan propaganda. 

"Itu hanya tindakan propaganda yang tak dianggap serius oleh siapapun dan membuat rakyat Iran terlihat bodoh," ujar Brian Hook yang berada di Arab Saudi.

Jenderal Soleimani tewas pada 3 Januari lalu oleh serangan drone AS di Baghdad, Irak. Soleimani sudah lama sudah masuk daftar terorisme AS.

Kematian Soleimani membuat pemerintah Iran marah. Soleimani juga dikenal dekat dengan Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Khamenei, yang menguraikan air mata saat menghadiri pemakaman Soleimani. 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Jaksa Agung AS Tegaskan Donald Trump Berwenang Bunuh Qasem Soleimani

Jenderal Top Iran Qasem Soleimani tewas dalam serangan drone militer Amerika Serikat yang diperintahkan Donald Trump. Perintah Trump itu mendapat kritik keras dari Partai Demokrat karena melancarkan serangan udara terhadap Soleimani tanpa persetujuan Kongres.

Namun, pada Januari lalu Jaksa Agung Amerika Serikat William Barr menyatakan, Donald Trump berwenang menewaskan Qassem Soleimani. Barr menambahkan, Gedung Putih telah berkonsultasi dengan departemennya sebelum menyerang jenderal besar Iran tersebut.

Menurutnya, Soleimani merupakan "target militer yang sah" dan serangan itu merupakan "aksi pembelaan diri yang sah."

"Departemen Kehakiman melakukan konsultasi dan jujur saya tidak merasa itu keadaan berbahaya," kata Barr, seperti dilansir Antara pada Januari lalu.

"Saya rasa presiden jelas memiliki wewenang untuk bertindak seperti yang ia sudah lakukan atas sejumlah dasar. Kita menghadapi situasi bahwa Iran telah memulai serentetan aksi kekerasan yang meningkat terhadap sekutu-sekutu kita, terhadap orang-orang Amerika, pasukan kita, dengan tujuan yang sudah terus terang diakui untuk mengusir kita dari Timur Tengah."

Sejak serangan 3 Januari yang menewaskan Soleimani, para kritikus mempertanyakan pernyataan pemerintahan Trump bahwa Soleimani sedang merencanakan serangan terhadap AS. Mereka juga mempertanyakan rencana Trump soal waktu penyerangan, koordinasi pemerintah, dan keputusannya untuk tidak memberi tahu Kongres, yang memegang kekuasaan untuk menyatakan perang.

Trump telah menepis kekhawtiran banyak kalangan, dengan mencuit "tidak begitu masalah" soal apakah ancaman akan segera terjadi.

"Jenderal yang bertanggung jawab atas upaya ini, Soleimani, jelas menjadi target militer yang sah. Waktu kita tak banyak untuk melakukan serangan," kata Barr.

"Ini aksi pembelaan diri yang sah sebab aksi tersebut mengacaukan serangan yang sedang berlangsung, yang sedang dilakukan -aksi melawan Amerika- dan itu kembali merupakan pencegahan," ia memungkasi.