Liputan6.com, Bern - LSM di Swiss, Uniterre, sedang mendesak pemerintah negaranya agar menggelar referendum menolak minyak sawit Indonesia dalam perjanjian perdagangan bebas.
Minyak sawit di Indonesia dianggap merusak lingkungan hidup dan hanya menguntungkan perusahaan besar.
Uniterre berkata 81 persen ladang sawit di Indonesia melanggar aturan, termasuk aturan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Monokultur sawit di Indonesia juga dianggap merugikan petani-petani kecil dan masyarakat adat.
Advertisement
Baca Juga
Argumen pemerintah bahwa minyak sawit Indonesia tidak merugikan lingkungan hidup lantas ditolak karena tidak sesuai realita. Kehadiran Omnibus juga dianggap memperparah keadaan.
"Kehancuran hutan-hutan hujan yang kaya akan spesies diterima oleh pemerintah," ujar sekretaris Uniterre, Mathias Stalder kepada Liputan6.com, Rabu (1/7/2020).
"Dengan Omnibus law dan inisiatif hukum lainnya, negara terus melakukan deregulasi untuk kepentingan ekonomi dan investor dan membuat kerugian pada biodiversitas, hak asasi manusia dan pekerja, dan hak petani kecil," ujar Stalder.
Stalder menjelaskan Uniterre berkata tidak hanya menolak sawit, melainkan produk agrikultur lain dari perjanjian perdagangan bebas Indonesia yang disebut Indonesia-EFTA Comprehensive Economic Partnership Agreement (IE-CEPA). Pelibatan produk agrikultur di perjanjian ini dinilai bisa merugikan petani.
Uniterre berkata agroindustri yang tidak memenuhi standar lingkungan hanya menguntungkan perusahaan multinasional, serta perdagangan bahan mentah yang juga melibatkan Swiss, dan segelintir perusahaan lokal.
Faktor lain yang disorot Uniterre adalah dari segi kesehatan. European Food Safety Authority berkata minyak sawit dan lemak sawit mengandung lebih banyak zat carcinogenic yang menyebabkan kanker ketimbang jenis minyak dan lemak lain.
"Dalam menghadapi krisis iklim dan lingkungan, kita harus fokus pada sistem makanan yang berkelanjutan dan lokal," ujar pihak Uniterre.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Bertemu Duta Besar Uni Eropa, Menko Airlangga Bahas Diskriminasi Sawit
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto pada Selasa 30 Juni 2020, menerima kunjungan Duta Besar Uni Eropa (UE) untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, Vincent Piket.
Melalui pertemuan ini, Menko Airlangga meminta dukungan Vincent Piket untuk dapat menjembatani hubungan bilateral Indonesia - UE, dimana produk ekspor Indonesia mengalami diskriminasi di UE.
Adapun komoditas ekspor UE ke Indonesia mayoritas terdiri dari produk alkohol dan turunan susu, sementara ekspor Indonesia ke UE sebagian besarnya adalah minyak sawit, stainless steel, dan nikel.
Sebagai komoditas ekspor utama Indonesia ke UE, minyak sawit memang sedang menghadapi banyak tantangan di pasar Eropa. Industrinya tengah menghadapi diskriminasi dan menjadi target kampanye negatif di UE, mulai dari segi lingkungan, sosial-ekonomi, hak asasi manusia dan kesehatan.
Diskriminasi terhadap minyak kelapa sawit asal Indonesia, antara lain melalui penerapan kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II/Delegated Regulation (DR) UE dan aturan turunannya; serta pengenaan bea masuk anti dumping bagi produk minyak kelapa sawit oleh UE.
Indonesia pun sebenarnya telah merilis Keputusan Presiden (Keppres) untuk meningkatkan standar pengelolaan industri kelapa sawit, melalui sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) serta National Action Plan of Sustainable Palm Oil.
“Rencana aksi tersebut sudah dibicarakan oleh beberapa stakeholder terkait dalam sesi diskusi yang transparan dan berimbang,” tegas Menko Airlangga.
Buktinya, lanjut Menko, ISPO sudah diakui dan bahkan dipromosikan oleh Komite Olimpiade Tokyo 2020, bersama dengan RSPO dan MSPO. Hal ini menunjukkan bahwa ISPO sudah diakui secara internasional, khususnya negara konsumen.
“Jadi, kami meminta dukungan Anda untuk menghadapi kampanye negatif tersebut, dan memperbaiki komunikasi antara Indonesia dan EU,” tutur Menko Airlangga kepada Vincent.
Sementara untuk komoditas nikel, ada gugatan UE terhadap kebijakan pelarangan ekspor nikel Indonesia melalui forum Dispute Settlement World Trade Organization (WTO) (DS 592). Proses konsultasi dengan UE telah dilakukan di WTO, Jenewa Swiss pada 30 Januari 2020 lalu yang dipimpin Wakil Menteri Perdagangan RI.
Advertisement