Sukses

Lawan Gerakan Cancel Culture, Penulis Harry Potter Tanda Tangani Petisi

"Cancel culture" dianggap intoleran karena mempermalukan atau memboikot seseorang yang dianggap kontroversial oleh pihak tertentu.

Liputan6.com, Jakarta - Fenomena "cancel culture" makin meluas di internet, terutama di Twitter. "Cancel culture" adalah gerakan untuk mempermalukan atau memboikot seseorang jika dianggap mengeluarkan pernyataan kontroversial. 

Budaya itu kini dilawan akademisi, novelis, dan jurnalis karena dianggap membahayakan kebebasan memberi pendapat. Sebuah surat terbuka dan petisi pun dibuat untuk menolak "cancel culture". 

Penulis Harry Potter, J.K. Rowling, ikut mendukung petisi itu. Sastrawan Margaret Atwood dan penulis Malcolm Gladwell juga memberi dukungan. 

"Saya sangat bangga untuk mendukung surat ini untuk mempertahankan prinsip fondasi dari masyarakat liberal: debat terbuka dan kebebasan berpikir dan berbicara," ujar J.K. Rowling lewat Twitternya seperti dikutip Jumat (10/7/2020).

Pada surat petisi yang diposting di situs Harper's Magazine, 150 tokoh menyebut "cancel culture" merupakan budaya sensor yang justru mirip dengan tindakan radikal.

"Pertukaran bebas informasi dan gagasan yang merupakan darah kehidupan dari masyarakat liberal sekarang menjadi semakin dibatasi setiap harinya. Meski kita bisa mendapati hal ini dari radikal sayap kanan, kelakuan penyensoran kini juga menyebar di budaya kita; intoleransi terhadap pandangan oposisi, tren untuk mempermalukan secara publik, dan ostrakisme," tulis surat itu.

Di dunia akademisi ada dukungan dari Noam Chomsky, ilmuwan politik Francis Fukuyama (Universitas Stanford), pakar geopolitik Andrew Moravcsik dan sejarawan Nell Irvin Painter (Universitas Princeton), ilmuwan sastra Helen Vendler (Universitas Harvard), ilmuwan sosial Kian Tajbakhsh (Universitas Columbia), dan banyak lainnya.

Banyak juga jurnalis yang turut memberi dukungan, seperti Anne Applebaum (The Washington Post), Olivia Nuzzi (New York Magazine), Fareed Zakaria (CNN), Emily Yoffe (The Atlantic), Bari Wess (The New York Times) dan Matthew Yglesias (Vox). 

Surat itu juga mengkritik tindakan asal pecat yang dilakukan beberapa perusahaan ketika ada pegawainya yang yang dianggap berujar kontroversial. 

"Cancel culture" dianggap bisa merugikan kehidupan demokrasi itu sendiri karena membungkam debat. 

"Jalan untuk mengalahkan ide-ide buruk adalah dengan mengekspos, argumen, dan persuasi, bukan dengan membungkam atau berharap mereka pergi," tulis surat itu.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Kontroversi J.K. Rowling

J.K. Rowling sejak akhir tahun lalu sering terlibat perdebatan dengan pendukung transgender di Twitter. Para pendukung transgender menuding J.K. Rowling telah "menyerang" kelompok transgender. 

Salah satunya karena J.K. Rowling menolak sebutan "orang yang menstruasi" sebagai pengganti kata "perempuan."

Ucapan J.K. Rowling memantik amarah kelompok pro-transgender. Mereka berkata pandangan J.K. Rowling diskriminatif terhadap transgender. 

J.K. Rowling membantah tudingan ia anti-transgender. Ia berkata tidak ingin transgender didiskriminasi, tetapi ia tetap mendukung posisinya terkait perempuan.Â