Liputan6.com, Hong Kong - Kubu oposisi Hong Kong tengah menjalankan pemilihan penyaringan atau primary untuk mempersiapkan pileg 2020. Lebih dari 600 ribu orang berpartisipasi mencoblos baik lewat aplikasi maupun langsung.
Pemilihan dewan legislatif (legislative council atau LegCo) akan digelar di Hong Kong pada September mendatang. Kubu oposisi tak ingin suara terpecah pada hari-H dan cara penyaringan ini dilakukan agar kandidat yang paling menjanjikan bisa ditemukan.
Advertisement
Baca Juga
Pihak penyelenggara menilai cara ini bijaksana dan tidak melanggar hukum keamanan nasional Hong Kong yang baru saja diterapkan China. Hukum itu menarget pihak yang mencoba menentang pemerintahan China.
Akan tetapi, pihak pemerintah China ternyata tidak suka dengan pemilihan ini. Pemilihan primary ini dianggap menantang hukum keamanan nasional.
Dilaporkan Xinhua, Selasa (14/7/2020), juru bicara Kantor Urusan Hong Kong dan Makao di Dewan Negara China menyebut bahwa primary yang diadakan adalah tindakan ilegal untuk memanipulasi pemilihan LegCo.
"Juru bicara mengekspresikan dukungan tegas untuk menghukum tindakan ilegal seperti itu berdasarkan hukum," tulis Xinhua.
Dewan Negara (State Council) merupakan dewan pemerintahan pusat China yang merupakan otoritas administratif tertinggi di pemerintahan China.
Hukum keamanan nasional Hong Kong merupakan produk hukum untuk menjaga otoritas China di Hong Kong. Segala gerakan yang mendukung separatisme bisa menerima hukuman penjara mulai dari tiga tahun hingga seumur hidup.
Beberapa negara barat menilai hukum itu melanggar HAM. Inggris dan Australia pun berkata siap menampung masyarakat Hong Kong yang ingin pindah negara.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Antisipasi UU Keamanan Hong Kong, Australia Tawarkan 10.000 Visa Permanen
Pemerintah Australia mengatakan akan menawarkan sekitar 10.000 pemegang paspor Hong Kong yang saat ini tinggal di Australia kesempatan untuk mengajukan permohonan tempat tinggal permanen begitu visa mereka saat ini berakhir.
Pemerintah Perdana Menteri Scott Morrison percaya bahwa langkah China mengimplementasi undang-undang keamanan nasional baru yang keras di wilayah semi-otonom Hong Kong membuka kemungkinan pendukung pro-demokrasi dapat menghadapi penganiayaan politik.
"Itu berarti bahwa banyak pemegang paspor Hong Kong mungkin mencari tujuan lain untuk dikunjungi dan karenanya kami telah mengajukan opsi visa tambahan untuk mereka," Penjabat Menteri Imigrasi Alan Tudge mengatakan kepada ABC TV, Minggu kemarin, dikutip dari Telegraph.co.uk.
Untuk mendapatkan tempat tinggal permanen, pelamar masih harus lulus "tes karakter, tes keamanan nasional dan sejenisnya," kata Tudge.
"Jadi itu tidak otomatis. Tapi itu tentu saja jalur yang lebih mudah menuju tempat tinggal permanen dan tentu saja setelah Anda menjadi penduduk tetap, ada jalan menuju kewarganegaraan di sana," katanya.
"Jika orang benar-benar dianiaya dan mereka dapat membuktikan kasus itu, maka mereka dapat mengajukan permohonan untuk salah satu visa kemanusiaan kami dalam kasus apa pun."
Sebelumnya, PM Morrison mengumumkan minggu lalu bahwa Australia menunda perjanjian ekstradisi dengan Hong Kong dan memperpanjang visa bagi penduduk Hong Kong dari dua menjadi lima tahun.
Langkah ini dilakukan setelah China melewati Dewan Legislatif Hong Kong untuk memberlakukan undang-undang keamanan menyeluruh tanpa konsultasi publik.
Para kritikus melihatnya sebagai kemunduran lebih lanjut dari kebebasan yang dijanjikan kepada bekas jajahan Inggris itu, sebagai tanggapan atas protes besar-besaran tahun lalu yang menyerukan demokrasi yang lebih besar dan akuntabilitas polisi yang lebih besar.
Undang-undang keamanan nasional melarang apa yang Beijing pandang sebagai kegiatan separatis, subversif atau teroris atau sebagai intervensi asing dalam urusan Hong Kong.
Di bawah undang-undang, polisi sekarang memiliki kekuatan besar untuk melakukan pencarian tanpa surat perintah dan memerintahkan penyedia layanan internet dan platform untuk menghapus pesan yang dianggap melanggar undang-undang.
Kementerian luar negeri China mengatakan pihaknya memiliki hak untuk "mengambil tindakan lebih lanjut" sebagai tanggapan atas langkah-langkah oleh Canberra. "Konsekuensinya akan sepenuhnya ditanggung oleh Australia," kata juru bicara Zhao Lijian pada briefing harian pada Kamis 9 Juli 2020.
Advertisement