Sukses

Gubernur Maryland Sebut Donald Trump Benci Korea Selatan

Gubernur Maryland berkata Donald Trump benci dengan Korea Selatan dan presidennya.

Liputan6.com, Washington, D.C. - Gubernur Maryland Larry Hogan menuduh Presiden Amerika Serikat Donald Trump membenci Korea Selatan. Selain itu, Trump dituding tak menyukai Presiden Korsel Moon Jae-in.

Tuduhan itu ditulis Gubernur Hogan di kolom opini The Washington Post. Gubernur Hogan berkata Presiden Trump mencibir Korsel pada Februari lalu.

"Ia berkata bagaimana ia sangat menghormati Presiden Xi Jinping dari China; bagaimana ia suka bermain golf dengan sahabatnya Shinzo, Perdana Menteri Abe dari Jepang; bagaimana ia berteman dengan diktator Korea Utara Kim Jong Un," tulis Gubernur Hogan seperti dikutip media Korsel Yonhap, Jumat (17/7/2020).

Percakapan itu terjadi saat makan malam bersama Asosiasi Gubernur Partai Republik. Hogan melanjutkan bahwa Trump tidak suka Presiden Moon dan rakyatnya.

"Trump berkata ia benar-benar tidak suka berurusan dengan Presiden Moon dari Korea Selatan. Rakyat Korea Selatan adalah 'orang-orang mengerikan', dan ia tidak tahu mengapa Amerika Serikat melindungi mereka selama bertahun-tahun," ujar Hogan.

Maksud Donald Trump melindungi adalah 28.500 pasukan AS yang berada di Korsel. Mereka berfungsi untuk mencegah agresi Korut.

Presiden Trump sering mengeluh karena Korsel tidak membayar cukup uang untuk pasukan tersebut.

Istri Gubernur Hogan adalah wanita kelahiran Korea Selatan bernama Yumi. Hogan berkata merasa tidak nyaman mendengar perkataan Donald Trump.

"Saya bisa mengatakan bahwa ia sakit dan tersinggung. Saya tahu dia ingin berjalan keluar. Tetapi ia duduk di sana dengan sopan dan diam," kata Gubernur Hogan.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Peringati 70 Tahun Perang Korea, Korea Selatan dan AS Serukan Perdamaian

Korea Selatan dan AS pada akhir Juni lalu mengafirmasi kembali komitmen mereka dalam mempertahankan "perdamaian yang diperjuangkan" di Semenanjung Korea, dan memperingati 70 tahun Perang Korea.

Pada 25 Juni 1950 silam, Komunis Korea Utara menginvasi Korea Selatan yang didukung AS, memicu perang tiga tahun yang menewaskan jutaan orang.

Pertempuran antar kedua Korea berakhir dengan gencatan senjata, namun hingga sekarang belum adanya perjanjian damai, sehingga Semenanjung Korea dibagi dalam zona demiliterisasi, dan Korea Selatan-Korea Utara secara teknis masih dalam kondisi perang.

Dilaporkan AFP, Menteri Pertahanan AS Mark Esper dan mitranya dari Korea Selatan, Jeong Kyeong-doo menyampaikan dalam sebuah pernyataan bersama, "Pada hari ini pada tahun 1950, aliansi militer AS-Republik Korea lahir dan bertempur habis habisan."

Pernyataan itu juga menuturkan bahwa Militer AS dan Korea Selatan melakukan "pengorbanan, keberanian, dan mewarisi kepada orang-orang yang mereka tinggalkan untuk membela negara yang bebas, demokratis, dan makmur."

Jumlah korban jiwa Korea Utara akibat konflik militer itu mencapai 520.000, 137.000 tentara Korea Selatan, dan 37.000 dari AS, menurut Kementerian Pertahanan Seoul. 

Dalam beberapa tahun terakhir, hubungan Seoul dengan Washington sempat tegang, dengan tuntutan administrasi Donald Trump soal Korea Selatan yang diminta untuk membayar lebih biaya penjagaan 28.500 tentara AS di Semenanjung Korea, untuk melindungi negara tersebut dari tetangganya yang bersenjata nuklir.

Tetapi, meskipun adanya permintaan itu, AS tetap berkomitmen untuk mempertahankan perdamaian yang diperjuangkan dengan keras di Semenanjung Korea.

Peringatan 70 tahun itu datang setelah hubungan Korea Selatan-Korea Utara tetap membeku menyusul pemulihan hubungan mereka pada 2018, yang membawa pada tiga pertemuan puncak antara pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in.