Sukses

Gadis Influencer Mesir Dipenjara 2 Tahun Atas Tuduhan Tak Bermoral di Media Sosial

Influencer TikTok asal Mesir dituduh tidak bermoral.

Kairo - Dua influencer asal Mesir mendapat vonis dua tahun penjara atas tuduhan "tindakan tak bermoral" dan perdagangan manusia. Mereka bahkan kena denda 300 ribu pound Mesir karena melanggar tatanan nilai di Mesir.

Dilaporkan ABC Australia, Selasa (28/7/2020), pengadilan Mesir menilai akun-akun media sosial tersebut mendorong perempuan lain untuk mencari uang dari internet dengan mengumpulkan pengikut sebanyak mungkin.

Influencer Haneen Hossam, 20 tahun, seorang mahasiswi Cairo University dituduh mendorong para perempuan muda bertemu pria lewat aplikasi video dan membina persahabatan dengan mereka.

Haneen dituduh mendapat keuntungan material tergantung dari jumlah mereka yang menonton aplikasi tersebut.

Mawada al-Adham, seorang influencer lainnya dengan sedikitnya 2 juta pengikut, juga dituduh memasang foto-foto dan video tidak senonoh di media sosial.

Menurut jaksa penuntut, tiga perempuan lain dikenai tuduhan membantu Hossam dan Al-Adham mengelola akun media sosial mereka.

Pengacara Al-Adham Ahmed el-Bahkeri telah membuat konfirmasi soal hukuman kepada influencer yang telah diputuskan hari Senin waktu setempat di Mesir. Ia mengatakan mereka akan mengajukan banding atas keputusan pengadilan.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 3 halaman

Penari Perut Juga Pernah Terjerat

Beberapa perempuan di Mesir sebelumnya sudah dituduh menganjurkan tindakan yang dianggap menentang nilai-nilai konservatif di negeri tersebut.

Kini perjuangan beralih ke internet dengan penggunaan media sosial di kalangan anak-anak muda Mesir meningkat tajam.

Bulan Juni lalu, Pengadilan Penyalahgunaan Ekonomi Mesir menjatuhkan hukuman penjara tiga tahun terhadap seorang penari perut terkenal, Sama El-Masry, karena dianggap mempromosikan "tindakan bejat" sebagai bagian dari pemberantasan media sosial.

Haneen yang memiliki sekitar 1 juta pengikut di TikTok dan Instagram ditahan bulan April lalu, setelah memuat sebuah klip video yang digambarkan oleh pihak penuntut sebagai "tidak senonoh".

Dalam video yang dimuat di Instagram yang sudah tidak bisa ditonton, Haneen mengatakan perempuan di Mesir bisa mendapatkan penghasilan sampai Rp 42 juta dengan menayangkan video online.

Video itu ditayangkan menggunakan platform Likee yang berbasis di Singapura yang dimiliki oleh perusahaan bernama Joyy dari China.

Pesan Haneen dipandang oleh pihak berwenang mendorong perempuan muda untuk menjual jasa seksual online.

Jaksa penuntut mengatakan tindakannya adalah untuk memanfaatkan situasi dimana banyak perempuan muda dan anak-anak yang miskin.

Pengadilan sebelumnya melepaskan Haneen dengan jaminan pada bulan Juni, namun kemudian ditahan lagi setelah jaksa menemukan bukti-bukti baru.

Sementara Mawada ditahan bulan Mei setelah videonya muncul di TikTok dan Instagram.

3 dari 3 halaman

Tuntutan Agar Mereka Dilepaskan

Aktivis Hak Asasi Manusia dan pengguna media sosial sudah meluncurkan kampanye digital bulan ini mendesak pemerintah Mesir membebaskan para perempuan, dengan menyebut penahanan adalah "pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat dan berekpresi".

Sementara itu para anggota parlemen Mesir mendesak pemerintah melarang aplikasi TikTok di Mesir karena dianggap mempromosikan tindakan tidak bermoral dan ketelanjangan.

Nehad Abu El Komsan, Kepala Pusat Hak Perempuan Mesir mengatakan dia masih bisa memahami tuduhan "melanggar prinsip dan nilai keluarga", namun mengatakan perdagangan manusia dan eksploatasi perempuan muda untuk mendapatkan uang adalah "tindak kejahatan keji".

"Kita harus membedakan antara kebebasan berekpresi dengan menggunakan mereka di bawah umur untuk mencari uang," katanya kepada Thomson Reuters Foundation.

"Dalam situasi ini, inilah yang disebut perdagangan manusia dan prostitusi yang dilarang oleh perundangan di Mesir."

Menurut Undang-undang Keamanan Siber di Mesir tahun 2018, siapa saja yang memiliki akun di internet yang dianggap melakukan tindak kriminal bisa dijatuhi hukuman sedikitnya dua tahun dan denda sampai Rp 250 juta.