Liputan6.com, Jakarta- Menurut angka terbaru yang dirilis oleh Menteri Kesehatan Lebanon, Hamad Hassan, setidaknya 135 orang telah tewas dan lebih dari 5.000 lainnya mengalami luka-luka akibat ledakan besar yang terjadi di Beirut.
Sementara 100 orang lainnya dilaporkan masih hilang, menurut Laporan Situasi UNICEF yang dirilis pada 5 Agustus.
Baca Juga
Dikutip dari ABC NEWS, Kamis (6/8/2020), ledakan besar yang telah merusak sebagian area di kota itu juga telah menyebabkan 300.000 orang kehilangan tempat tinggal, menurut pernyataan Gubernur Beirut.
Advertisement
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS mengatakan kepada ABC News, bahwa setidaknya ada satu warga AS yang tewas dalam ledakan itu, dan beberapa lainnya terluka.
Segera setelah ledakan, kapasitas pasien di rumah sakit di sekitar Beirut pun meningkat, membuat mereka yang terluka terpaksa melakukan perjalanan sejauh 50 mil ke arah utara, yang jaraknya melampaui Tripoli, 50 mil utara, untuk menerima perawatan.
Selain itu, tiga rumah sakit di Beirut juga mengalami kerusakan akibat ledakan itu.
Menyusul insiden tersebut, hari berkabung nasional selama tiga hari telah diumumkan di Lebanon.
Serangkaian permohonan yang meminta bantuan donor darah dibuat oleh Palang Merah Lebanon, setelah mereka berupaya dengan mengirim 75 ambulans dan 375 paramedis ke tempat kejadian.
Tim pencarian dan penyelamatan juga masih terus mencari orang yang hilang di sekitar lokasi ledakan.
Tim yang terdiri dari 10 petugas darurat yang pertama kali menanggapi kebakaran di tempat kejadian hilang setelah berpotensi terjebak dalam ledakan, menurut laporan seorang petugas pemadam kebakaran kepada ABC News.
Menteri Pertahanan AS Mark Esper mengatakan dalam sebuah pertemuan virtual di Aspen Security Forum, bahwa masih ada informasi yang masuk tentang ledakan tersebut, tetapi "sebagian besar percaya ledakan itu merupakan kecelakaan, seperti yang dilaporkan."
Ada lebih dari 2.700 ton amonium nitrat, senyawa industri, disimpan di suatu gudang di lokasi ledakan itu, menurut pihak berwenang.
Dikutip dari Anadolu Agency, dalam sebuah postingan di akun Twitter Kepresidenan Lebanon, Presiden Lebanon Michel Aoun mengungkap penyebab ledakan di Beirut adalah karena amonium nitrat.
Presiden Aoun juga menyatakan, bahwa penimbunan 2.750 ton amonium nitrat di sebuah gudang tanpa langkah keamanan tidak dapat diterima. Ia pun menegaskan, mereka yang bertanggung jawab atas tragedi ledakan tersebut harus diganjar hukuman paling berat.
Saksikan Video Berikut Ini:
Pendirian Rumah Sakit Pemerintah
Perwakilan UNICEF di Lebanon, Yukie Mokuo, mengatakan bahwa ia "prihatin bahwa anak-anak termasuk di antara korban dan kami sadar bahwa mereka yang selamat mengalami trauma dan shock."
Sebuah rekaman drone dari area pelabuhan menunjukkan sebagian besar area yang merata karena ledakan.
Ledakan itu tercatat seperti getaran berkekuatan 3,3, dengan laporan yang menunjukkan bahwa ledakan itu terdengar jauh hingga mencapai Siprus, dan 150 mil jauhnya ke Mediterania, menurut laporan Survei Geologi AS.
Jurnalis di surat kabar Lebanon Daily Star dan kantor berita BBC di Beirut pun sempat mendokumentasikan saat-saat setelah ledakan terjadi, yang menunjukkan kerusakan signifikan pada kantor mereka.
Presiden Michel Aoun mengumumkan setelah rapat kabinet darurat, bahwa sejumlah orang yang mengelola penyimpanan amonium nitrat di gudang yang terkait dengan ledakan tersebut akan diproses ke dalam tahanan rumah.
Selain itu, Presiden Aoun juga mengumumkan bahwa empat rumah sakit pemerintah akan didirikan, dan laporan resmi terkait ledakan tersebut akan dikirimkan ke kabinet dalam lima hari ke depan.
Amonium nitrat diketahui merupakan adalah bahan yang sama yang digunakan untuk membuat bahan peledak, seperti yang pernah digunakan dalam insiden ledakan bom di Oklahoma yang menewaskan 168 orang 25 tahun lalu.
Amonium nitrat tampaknya telah disita dari sebuah kapal kargo komersial yang ditinggalkan di Beirut pada tahun 2013 dan kemudian disita oleh otoritas Lebanon setahun kemudian.
Menurut seorang pengacara yang mengakui bahwa mereka mewakili awaknya, yaitu kapal Rhosus, mengatakan bahwa mereka terpaksa berlabuh karena masalah teknis pada 2013.
Hingga kemudian, kapal tersebut dilarang berlayar oleh pihak berwenang di Lebanon setelah ditemukannya pelanggaran selama pemeriksaan.
Dalam pemberitahuan yang menjelaskan proses hukum yang diterbitkan dalam penangkapan kapal, para pengacara menulis bahwa amonium itu telah diturunkan oleh otoritas pelabuhan Beirut dan ditempatkan ke dalam gudang untuk menunggu pelelangan atau pembuangan secara tepat.
Tetapi sampai enam tahun berlalu, amonium nitrat yang disita tidak dipindahkan dari gudang pelabuhan.
Advertisement