Sukses

Ledakan di Lebanon, Sejumlah Pejabat Pelabuhan Beirut Jadi Tahanan Rumah

Para pejabat yang terkait dengan penyimpanan amonium nitrat di pelabuhan Beirut, ditetapkan akan berada di bawah tahanan rumah, menyusul insiden ledakan besar yang terjadi di kota tersebut.

Liputan6.com, Beirut- Pemerintah Lebanon mengatakan bahwa pihaknya akan menempatkan para pejabat yang terkait dengan penyimpanan amonium nitrat di pelabuhan Beirut, di bawah tahanan rumah. 

Merujuk pada substansi yang memicu ledakan besar, Menteri Informasi Lebanon, Manal Abdel Samad, menyatakan, "Kami menyerukan kepemimpinan militer untuk memberlakukan tahanan rumah pada semua orang yang mengorganisir penyimpanan amonium nitrat di pelabuhan Beirut," sepert dikutip dari AFP, Kamis (6/8/2020).

Ledakan besar yang menewaskan lebih dari 100 orang dan melukai ribuan lainnya tersebut membuat Menteri Manal Abdel Samad mengumumkan keadaan darurat di Beirut selama dua pekan.

Dikutip dari US News, Kabinet Lebanon juga telah menyepakati untuk menetapkan semua pejabat pelabuhan Beirut yang telah mengawasi penyimpanan dan keamanan amonium nitrat sejak 2014 itu di bawah tahanan rumah, menurut sumber-sumber kementerian.

Sejauh ini tidak ada jumlah yang jelas berapa banyak pejabat yang akan ditetapkan sebagai tahanan. Tetapi para pejabat tahanan rumah itu akan dalam pengawasan tentara, sampai yang bertanggung jawab atas ledakan besar di pelabuhan itu ditentukan, menurut sumber tersebut.

Saksikan Video Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Koban Tewas Akibat Ledakan Naik Menjadi 135 orang, 5.000 Luka-Luka

Dikutip dari ABC News, setidaknya 135 orang telah tewas dan lebih dari 5.000 lainnya mengalami luka-luka akibat ledakan besar yang terjadi di Beirut.

Jumlah korban tewas itu merupakan angka terbaru yang dirilis oleh Menteri Kesehatan Lebanon, Hamad Hassan.

Sementara menurut Laporan Situasi UNICEF yang dirilis pada 5 Agustus, 100 orang lainnya dilaporkan masih hilang.

Gubernur Beirut juga menyatakan bahwa ledakan besar yang telah merusak sebagian area di kota itu juga telah menyebabkan 300.000 orang kehilangan tempat tinggal.

Juru bicara Departemen Luar Negeri AS mengatakan kepada ABC News, bahwa setidaknya ada satu warga AS yang tewas dalam ledakan itu, dan beberapa lainnya terluka.