Sukses

WNI di Melbourne Kesulitan Kerja Akibat Lockdown Terkait COVID-19

WNI di Melbourne berusaha keras agar bisnis mereka terus berjalan di tengah lockdown terkait Virus Corona COVID-19.

Melbourne - Australia kembali menerapkan lockdown ketat terkait penularan Virus Corona COVID-19 di wilayah Victoria. Para WNI yang berada di Melbourne ikut merasakan dampak negatif ke pekerjaan dan bisnis mereka. 

Dilaporkan ABC Indonesia, Kamis (6/8/2020), salah satu yang terkena dampaknya adalah Zurlia Usman yang berasal dari Malang. Ia sudah 16 tahun membuka butik di Melbourne, kini bisnisnya harus tutup sementara. 

Bisnis Zurlia, yakni butik Emaan, menjadi satu dari ribuan bisnis yang terkena dampak sejak Pemerintah Victoria menutup sementara usaha yang tidak termasuk kebutuhan pokok dan mendesak, mulai Rabu malam 5 Agustus 2020.

"Setelah turun pendapatan karena pembatasan pertama selama tiga minggu, kami sempat berharap bisa naik lagi pelan-pelan setelah dilonggarkan, ternyata di luar dugaan harus tutup sementara lagi."

Zurlia mengaku jika pengeluaran terbesarnya saat ini adalah membayar uang sewa bangunan yang terletak di kawasan Coburg, sekitar 7 kilometer dari pusat kota Melbourne.

"Yang memberatkan untuk bisnis kami adalah sewa gedung yang cukup tinggi," ujarnya. 

Tapi Zurlia mengatakan ia bersyukur karena di tengah pandemi COVID-19, ia telah bernegosiasi dengan pemilik bangunan untuk mendapatkan keringanan, setelah menunjukkan adanya penurunan pendapatan.

Ia juga mengaku salah satu yang membuat butik Emaan bertahan adalah tunjangan uang 'Jobkeeper' dari pemerintah, yang diberikan kepada pemilik bisnis dengan penurunan omzet lebih dari 30 persen.

Banyak diantara pemilik bisnis di Melbourne merasa khawatir mereka tidak akan mampu bertahan jika bisnis mereka akan ditutup sementara selama enam minggu.

Tapi dengan berbekal pengalamannya menjalani bisnis butik selama belasan tahun, Zurlia yakin jika ia akan bisa melalui "badai" dengan baik.

"Kami optimis badai kali ini juga bisa dilalui, jadi berpikiran positif, karena bukan sesuatu yang permanen," ujar Zurlia yang kini hanya melayani pembelian online.

Zurlia yang pindah ke Australia di tahun 1988 untuk meneruskan sekolahnya mengatakan banyak hal yang bisa dipelajari oleh pebisnis di Melbourne selama usaha mereka ditutup sementara, seperti melatih kemampuan beradaptasi dalam bisnis dan mencari inovasi.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 4 halaman

Pekerja Salon Harus Putar Otak

Fenny Yunita, mahasiswi Certficate III Hair Dressing dan Diploma of Beauty Therapist, juga harus beradaptasi dengan kebijakan lockdowon.

Sebelumnya, ia memiliki pekerjaan sampingan di hotel, namun kini tutup sementara karena pandemi di bulan Maret. Fenny harus memutar otak untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya.

Karena merasa sudah memiliki kemampuan sebagai penata rambut, ia kemudian memberanikan diri membuka jasa gunting rambut di apartemennya.

"Waktu itu belum ada larangan tidak boleh bertamu seperti sekarang, jadi yang mau gunting rambut bisa bikin janji dulu, kemudian datang ke apartemen saya," kata Fenny yang juga asal dari Indonesia.

"Atau kalau ada yang memanggil (untuk potong rambut) ke rumah mereka, … asal enggak sampai travelling sampai dua jam, saya jalani juga."

Tapi kemudian Fenny memutuskan mencari kerja di salon untuk membatasi orang yang datang ke apartemennya.

Baru juga beberapa saat bekerja, ia harus berhenti sementara setelah Pemerintah Victoria memberlakukan aturan pembatasan tahap empat.

"Siapa yang menyangka bakal naik ke stage 4 begini? Sekarang di rumah dulu saja sambil menunggu keadaan enam minggu ke depan, mudah-mudahan membaik dan bisa kerja lagi."

3 dari 4 halaman

Menjadi Guru Online

Pembatasan sosial tahap empat di Melbourne juga berpengaruh kepada Amazia Pravianti Tanuatmadja, mahasiswi Master of Education di Monash University.

Amazia sempat bekerja di restoran Indonesia di Clayton selama satu bulan, sebelum akhirnya memutuskan untuk berhenti, ketika jumlah kasus di Melbourne semakin meningkat.

"Saya khawatir dengan kasus yang meningkat dan orangtua saya di Indonesia juga khawatir. Akhirnya saya memutuskan berhenti,” kata Amazia yang bekerja untuk memperoleh uang saku.Untuk memenuhi kebutuhannya, sejak April lalu, lulusan S1 Sastra Inggris Universitas Kristen Maranatha Bandung tersebut mengajar Bahasa Inggris online untuk murid-murid di Indonesia.

"Saya membantu usaha teman di Indonesia yang kebetulan punya kursus Bahasa Inggris online," kata Amazia.

"Jumlah murid tergantung kadang ada private atau ada kelas regular, yang satu kelas bisa sampai 15 orang."

Ia berharap agar kondisi di Victoria, khususnya Melbourne, bisa cepat pulih sehingga dapat mencari pekerjaan baru.

"Saya tetap ingin mencari pekerjaan di Melbourne kalau bisa, karena jamnya lebih enak juga. Itu juga akan membantu tidak merepotkan keluarga karena biaya pendidikan yang sudah mahal."

4 dari 4 halaman

Tenaga Konstruksi Kehilangan Jam Kerja

Warga asal Indonesia lainnya, Reygi Raymon mengaku sempat merasa sangat senang ketika mendengar jam kerjanya kembali normal, yaitu empat sampai lima hari per minggu awal Juni lalu, saat Victoria masih di pembatasan tahap ketiga. 

Namun, ketika kebijakan tahap keempat mulai diberlakukan pekan lalu, Reygi yang berstatus tenaga 'casual' di bidang konstruksi, tidak lagi menerima panggilan kerja.

Ini karena Pemerintah Victoria hanya mengizinkan lima orang di situs kontruksi berskala kecil.

Reygi yang sudah bekerja di bidang konstruksi sejak November 2019 tidak lagi memiliki penghasilan dan terpaksa mengandalkan tabungan untuk bertahan hidup.

"Sebenarnya proyek berjalan seperti biasa. Tapi karena saya pekerja serabutan, jadi saya harus menunggu kabar dari supervisor kapan bisa bekerja lagi," kata Reygi yang berasal dari Bali.Kepada ABC, ia mengatakan sejak awal pandemi di Australia, jam kerjanya tidak beraturan mengikuti kebijakan yang berubah-ubah di Victoria.

"Sejak Maret akhir sudah terasa bedanya. Saya berharap agar Victoria paling tidak kembali ke tahap tiga, agar ada peluang kerja lebih banyak sesuai kebijakan yang berlaku," ungkapnya.