Liputan6.com, Jakarta - Sebuah citra satelit menemukan kotoran penguin pada selimut putih di benua terdingin, Benua Antartika. Tak disangka, pencitraan itu menyingkap jejak dari 20% lebih banyak kumpulan penguin kaisar di Antartika daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Menurut penelitian yang diterbitkan pada 4 Agustus di jurnal Remote Sensing in Ecology and Conservation, itu adalah kabar baik sekaligus kabar buruk, karena semua koloni baru berada di daerah yang kemungkinan besar sangat rentan terhadap perubahan iklim.
Tidak mudah menghitung berapa banyak tepatnya penguin kaisar yang hidup di Antartika karena biasanya hewan ini berkembang biak di tempat yang sangat dingin, terpencil, dan sulit dijangkau. Untuk menyiasati hal itu, selama dekade terakhir para ilmuwan dari British Antarctic Survey (BAS) telah mencari penguin melalui noda kotoran pada citra satelit.
Advertisement
Melansir livescience.com, Jumat (7/8/2020), dalam studi baru, para ilmuwan menganalisis gambar yang diambil pada 2016, 2018, dan 2019 oleh satelit Copernicus Sentinel-2 Badan Antariksa Eropa. Mereka meninjau gambar untuk piksel coklat, yang mewakili noda penguin.
Gambar-gambar tersebut mengungkapkan delapan kumpulan penguin kaisar baru yang juga mengkonfirmasi keberadaan tiga lainnya yang sebelumnya sudah diidentifikasi, yang menjadikan total 61 koloni di Benua Antartika. Namun menurut penelitian, sebagian besar koloni berukuran kecil, para peneliti harus menggunakan banyak gambar untuk mengonfirmasi keberadaan mereka.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini
Kabar Baik dan Buruk di Waktu yang Bersamaan
Studi menemukan, sebelas koloni baru itu meningkatkan populasi penguin kaisar yang diketahui sebesar 5% hingga 10%, atau hingga 55.000 penguin tambahan, menjadikan total populasi penguin tertinggi di dunia yang masih hidup menjadi antara 531.000 dan 557.000
"Sementara kabar baiknya bahwa kami telah menemukan koloni baru ini, kabar buruknya adalah lokasi pembiakan semuanya berada di lokasi di mana proyeksi model terbaru menunjukkan populasi penguin kaisar akan menurun," kata Phil Trathan, kepala biologi konservasi di BAS dalam sebuah pernyataan. "Oleh karena itu, kami perlu mengawasi tempat ini dengan cermat karena perubahan iklim akan mempengaruhi wilayah ini."
Menurut penelitian, hampir semua koloni penguin kaisar bergantung pada laut es yang stabil yang ditambatkan ke darat untuk berkembang biak. Dan es yang berlabuh di darat ini harus tetap stabil selama sekitar 9 bulan dari saat mereka lahir hingga menjadi dewasa.
Proyeksi sebelumnya menunjukkan bahwa perubahan iklim dan pencairan es kemungkinan akan memicu penurunan populasi penguin kaisar. Penelitian tahun 2019 di jurnal Global Change Biology menemukan bahkan jika suhu global hanya meningkat 1,5 derajat C, yang menurut para ilmuwan iklim sebagai skenario kasus terbaik, populasi penguin kaisar Antartika akan turun setidaknya 31% selama tiga generasi berikutnya.
Advertisement
Bukan Satu-Satunya Penemuan Kotoran Penguin
Menurut BAS mengatakan beberapa dari koloni ini berada jauh di lepas pantai, sekitar 180 kilometer di lepas pantai dari laut es yang terbentuk di sekitar gunung es yang. Ini adalah pertama kalinya penguin kaisar ditemukan berkembang biak jauh dari pantai dan itu berarti kemungkinan ada tempat yang berpotensial  untuk perkembang yang tidak kami ketahui, tulis penulis.
"Namun, Â daerah yang jauh dari pantai ini lebih ke arah utara, mereka akan berada di daerah yang lebih hangat dan karena itu akan lebih rentan terhadap hilangnya es laut lebih awal," tulis para peneliti dalam penelitian tersebut.
Ini bukan satu-satunya saat para ilmuwan menemukan penguin dari kotorannya. Dua tahun lalu, ilmuwan lain menemukan superkoloni yang sebelumnya tidak diketahui dari 1,5 juta penguin Adélie di Pulau Danger, Semenanjung Antartika, dengan menemukan noda kotoran di citra satelit, menurut laporan Live Science sebelumnya.
Penguin Adélie ini entah bagaimana berkembang biak dengan baik meskipun terjadi perubahan iklim, sementara rekan-rekan mereka di sisi barat Semenanjung Antartika telah mengalami penurunan populasi.
Â
Reporter: Vitaloca Cindrauli Sitompul