Sukses

HEADLINE: Rusia Klaim Vaksin COVID-19 Pertama di Dunia, Ampuh atau Berbahaya?

Dunia medis tercengang. Ada yang mendukung, tak sedikit yang mengkritik. Vaksin Virus Corona COVID-19 pertama di dunia, diklaim Rusia.

Liputan6.com, Jakarta - Dunia medis tercengang. Ada yang mendukung, tak sedikit yang mengkritik. Vaksin Virus Corona COVID-19 pertama di dunia, diklaim Rusia.

"Sejauh yang saya tahu, pagi ini, untuk pertama kalinya di dunia, sebuah vaksin Virus Corona baru telah didaftarkan," ujar Presiden Rusia Vladimir Putin dalam pertemuan online bersama jajaran pemerintahannya pada Selasa 11 Agustus waktu Moskow.

Putin berharap produksi massal vaksin yang terdaftar itu akan dimulai di Rusia dalam waktu dekat, dan vaksinasi akan tersedia bagi semua orang di negara tersebut secara sukarela. "Yang terutama, tentu saja, adalah bahwa di masa depan kami dapat memastikan keamanan tanpa syarat dari vaksin ini serta keefektifannya," kata Putin.

Menteri Kesehatan Rusia Mikhail Murashko pada pertemuan tersebut mengonfirmasi, vaksin yang akan diproduksi Rusia mulai akhir Agustus 2020 itu merupakan yang pertama di dunia, sementara negara lain masih mengembangkan studi klinis vaksin COVID-19.

Murashko menyatakan, vaksin baru dengan nama Sputnik V tersebut telah melewati seluruh pemeriksaan yang diperlukan. Ia mengklaim hasilnya dapat membentuk kekebalan tubuh yang stabil. Klaim itu dibuktikan dengan memberikan vaksin tersebut kepada salah satu putri Putin yang kemudian merasa sehat setelah disuntik. 

Namun, vaksin itu ternyata belum melalui uji klinis fase 3. Dikutip dari AFP, Rabu (12/8/2020), Kepala Dana Investasi Langsung Rusia yang mendanai proyek vaksin itu, Kirill Dmitriyev mengakui uji coba Fase 3 baru akan dimulai pada 12 Agustus, sehari setelah Putin mengklaim vaksin buatan Rusia sebagai yang pertama di dunia.

Kritik pun bermunculan. Pakar vaksin menyebut keputusan Rusia yang melompati uji klinis fase 3 sangat berisiko.

"Saya pikir ini sangatlah menakutkan. Ini benar-benar berisiko," ujar Daniel Salmon, direktur Institut Keselamatan Vaksin di Johns Hopkins University, seperti dikutip The New York Times.

Ia menyebut, Fase 3 diperlukan agar mengetahui apakah vaksinnya berbahaya ke manusia atau tidak.

Virologis dari Weill Cornell Medical College di New York City, John Moore, bahkan lebih tegas mengkritik klaim Rusia. Ia menyebut Putin hanya berbicara politik. "Ini semua luar biasa bodoh," ujarnya. "Putin tidak punya vaksin, ia hanya membuat pernyataan politik."

Di berbagai negara, tes vaksin Fase 3 melibatkan ribuan sukarelawan. Mereka lantas dibagi menjadi orang yang mendapat vaksin COVID-19 dan tidak mendapat vaksin COVID-19 (atau kelompok kontrol). Hasilnya bisa dibilang sukses jika orang yang mendapat vaksin COVID-19 lebih kebal terhadap COVID-19 ketimbang kelompok kontrol. Saat ini, hampir semua calon vaksin COVID-19 dari berbagai negara sedang berada di Fase 3. 

Keraguan terhadap klaim Rusia juga diungkapkan Mantan Komisaris Asosiasi Makanan dan Obat Amerika Serikat (FDA) Peter Pitts. "Tidak ada data, tidak ada transparansi, tidak ada FDA di Rusia dan mereka memiliki sejarah menyetujui obat dan vaksin dengan sedikit atau tanpa pengujian," kata Pitts seperti dilansir Euronews.

"Ini bukan vaksin dan lebih condong ke bom molotov pada saat ini, yang sebenarnya tidak kita butuhkan dalam pertempuran global melawan COVID-19."

Sementara itu, Fergus Walsh, seorang analis koresponden medis, mengatakan kalau data vaksin Rusia tidak dapat diverifikasi. "Rusia melacak vaksin COVID-19 dengan kecepatan yang luar biasa. Mereka memulai uji klinis pertama pada 17 Juni, beberapa bulan setelah uji klinis yang dilakukan oleh tim di China, AS dan Eropa. Tidak seperti kelompok lain, Institut Gamaleya di Moskow belum merilis data keamanan atau kekebalan apa pun dari studinya. Hal ini membuat ilmuwan independen tidak mungkin membuat penilaian."

"Presiden Putin ingin mengirimkan pesan yang jelas kepada dunia tentang kehebatan sains Rusia. Tapi menjadi yang pertama saja tidak cukup. Belum ada vaksin COVID-19 yang sedang dikembangkan yang terbukti menawarkan perlindungan terhadap Virus Corona. Pertanyaan utama itu saja masih belum terjawab," jelas Walsh.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menanggapi pengumuman Rusia dengan menggarisbawahi "prosedur ketat" yang diperlukan untuk perizinan vaksin. Pada pekan lalu, WHO mengaku belum melihat "ada yang resmi" dari penelitian vaksin Rusia.

Infografis Sputnik V, Vaksin Covid-19 Pertama Dunia? (Liputan6.com/Trieyasni)

Profesor Mikrobiologi di Universitas Indonesia, Pratiwi Pujilestari Sudarmono mempertanyakan publikasi ilmiah vaksin COVID-19 buatan Rusia itu. Saat Rusia mengumumkan klaim vaksin pertama di dunia, ia telah mencoba mencari publikasi ilmiahnya, sama seperti saat China meperkenalkan vaksin COVID-19 Sinovac. 

"Vaksin itu kan ada beberapa. Ada virus yang dilemahkan, ada juga virus rekombinan. Nah, vaksin ini pakai yang mana? Kita biasanya bisa membaca hasil publikasinya. Bahkan, Sinovac kemarin bisa kita baca, yang ini tidak," kata Pratiwi saat berbincang dengan Liputan6.com.

Publikasi ilmiah, kata Pratiwi, adalah hal yang sangat penting. Jika tidak ada, seluruh dunia bisa meragukannya, "Kalau mau pakai sendiri, dipakai oleh rakyat mereka sendiri, silakan saja. Kalau mereka berkenan dan memang mereka menganggap itu beres."

Berhubung tidak ada niatan membeli vaksin Sputnik V, Indonesia tak perlu risau. "Kita cuma bisa melihat dan mungkin menunggu publikasinya." 

Publikasi klinis dari vaksin harus jelas, harus mencakup pra-klinis (bahan dasar yang digunakan dalam membuat vaksin), tahap uji klinis, bahkan setelah vaksin itu dipakai harus ada publikasi mengenai dampak dan efektivitas vaksin COVID-19 tersebut. 

"Itu semua harus ada. Uji klinik sendiri ada fase I, II, III, IV. Kalau itu enggak ada, masyarakat dunia akan sama kayak kita saat melihat kasus Hadi Pranoto. Klaim ya klaim saja," ujar Pratiwi.

Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Profesor Amin Subandrio menjelaskan tiap fase harus dilewati untuk mengetahui efek Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (KIPI). Efeknya bisa jangka pendek atau panjang.

"Masalah keamanan itu ada istilahnya Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (KIPI). Jadi setiap kali seorang diberi imunisasi itu ada aja kemungkinan terjadinya KIPI, mulai dari yang ringan sampai berat, dan juga jangka pendek sampai jangka panjang. Itulah yang harus diikuti terus," ujar Amin kepada Liputan6.com. 

Pada Fase 3, uji vaksin biasanya memakan waktu lama. Inilah mengapa uji vaksin COVID-19 di berbagai negara memakan waktu. Peneliti harus melihat apakah ada efek jangka panjang karena bisa saja yang disuntik sakit. 

Selain itu, Fase 3 bisa melibatkan lebih banyak orang ketimbang fase sebelumnya. Lokasi pengujiannya juga di berbagai negara, contohnya vaksin COVID-19 dari China dan Universitas Oxford diuji di beberapa negara.

"Di Fase 3 itu apa yang dilakukan Fase 2 dilakukan ke subyek yang lebih besar dengan beberapa center, artinya beberapa negara untuk mendapatkan populasi yang heterogen." kata Amin.

Menangaapi berbagai kritik dan tuduhan vaksin Virus Corona COVID-19 buatannya tak aman karena tak melewati uji klinis fase 3, Menteri Kesehatan Rusia Mikhail Murashko menyatakan hal itu tidak berdasar. "Tuduhan bahwa vaksin Virus Corona kami tidak siap dan tidak aman itu tak berdasar dan lebih didorong atas rasa persaingan," ujar Murashko, seperti dilaporkan Kantor Berita Interfax.

"Tampaknya kolega asing kami merasakan keunggulan kompetitif spesifik dari obat Rusia dan mencoba untuk mengungkapkan pendapat yang menurut kami sama sekali tidak berdasar," imbuhnya.

Ia mengatakan, vaksin yang dikembangkan Institut Gamaleya Moskow itu akan diberikan kepada orang-orang, termasuk dokter, secara sukarela, dan akan segera siap dalam dua pekan ke depan. "Paket pertama vaksin medis penangkal infeksi virus corona akan diterima dalam dua pekan ke depan, utamanya untuk dokter," ujar Murashko.

Direktur Institut Gamaleya, Alexander Gintsburg menyampaikan bahwa uji klinis akan diterbitkan setelah dinilai oleh para ahli Rusia sendiri. Dia mengatakan, Rusia berencana untuk dapat memproduksi 5 juta dosis sebulan pada Desember-Januari.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 4 halaman

Persaingan Vaksin Rusia dengan AS dan China

Vaksin Rusia menggunakan jenis adenovirus (kelompok virus) yang telah disesuaikan, virus ini mirip flu biasa. Namun persetujuan vaksin oleh regulator Rusia datang sebelum selesainya studi yang lebih besar yang melibatkan ribuan orang, yang dikenal sebagai uji coba fase tiga.

Padahal, para ahli menganggap uji coba ini sebagai bagian penting dari proses pengujian.

Meskipun demikian, Menteri Kesehatan Rusia Mikhail Murashko mengatakan pada hari Selasa bahwa vaksin itu terbukti sangat efektif dan aman. "Ini adalah langkah besar menuju 'kemenangan umat manusia' atas COVID-19."

Pejabat Rusia mengatakan vaksin itu diberi nama Sputnik V untuk menghormati satelit pertama di dunia. Sputnik adalah kata dalam bahasa Rusia untuk satelit.

Mereka menyamakan pencarian vaksin dengan perlombaan antariksa yang diperebutkan oleh Uni Soviet dan AS selama Perang Dingin. Rusia sebelumnya telah dituduh oleh Inggris, AS, dan Kanada berusaha mencuri penelitian terkait COVID-19.

Sementara itu, Pemerintah Amerika Serikat telah menyetujui untuk membayar Johnson & Johnson lebih dari US$ 1 miliar atau Rp 14 triliun untuk 100 juta dosis vaksin Virus Corona COVID-19. Saat ini, vaksin dari Johnson & Johnson masih dalam tahap percobaan, dan kini vaksin itu masih dalam tahap awal uji coba pada manusia di AS dan Belgia.

"Kami tingkatkan produksi persediaan vaksin SARS-CoV-2 di AS dan seluruh dunia untuk penggunaan darurat," ujarnya.

Negeri Paman Sam tersebut juga telah menggelontarkan dana sebesar US$ 456 juta untuk pembuatan vaksin itu. Produksi untuk lebih dari 1 miliar dosis vaksin merupakan target Johnson & Johnson pada tahun 2021 mendatang.

Teknologi sama, yang pada sebelumnya digunakan dalam vaksin eksperimental untuk Ebola, kini juga sedang digunakan untuk memproduksi vaksin Ad26.COV2.S oleh Johnson & Johnson. Menurut laporan VOA Indonesia, vaksin yang diproduksi Johnson & Johnson itu akan dikirimkan ke Badan Penelitian dan Pengembangan Biomedis Lanjutan (BARDA) yang berbasis nirlaba.

Setelah mendapatkan persetujuan, vaksin itu diperuntukkan bagi penggunaan darurat oleh FDA, Badan Administrasi Makanan dan Obat-obatan AS.

Selain Johnson & Johnson, beberapa perusahaan lainnya juga telah membuat kesepakatan dengan AS untuk vaksin Corona COVID-19 yang berpotensi. Baru-baru ini, AS mengumumkan kesepakatannya untuk menyediakan 100 juta dosis vaksin bernilai US$ 2,1 miliar dengan perusahaan farmasi Sanofi dan GlaxoSmithKline.

Sedangkan tiga vaksin yang dikembangkan China, kini memasuki uji coba fase 3. Tiga kandidat vaksin asal China tersebut yakni Sinovac, Sinopharm, dan CanSino.

Vaksin Sinovac, kini tengah diuji coba di sejumlah negara, di antaranya Indonesia dan Bangladesh. Di Indonesia, Universitas Padjajaran turut berperan dalam uji coba yang melibatkan 1.620 sukarelawan ini.

Vaksin Virus Corona tersebut bakal disuntikkan dua kali ke tubuh relawan per 14 hari. Secara berkala, tim akan melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap setiap relawan. Pemantauan relawan dilakukan selama 7 bulan.

Untuk vaksin Sinopharm, diuji coba di Uni Emirat Arab. Otoritas kesehatan negara itu mengeluarkan izin untuk mencari 15 ribu sukarelawan untuk uji vaksin Corona COVID-19.

Kementerian Kesehatan UEA mencari sukarelawan berusia 18-60 tahun yang sebelumnya tak pernah kena Corona COVID-19. Penderita kanker atau defisiensi imun tidak dapat ikut serta.

Sementara, vaksin CanSino melakukan uji klinis Fase III dari kandidat vaksin Covid-19, Ad5-nCOV, di Arab Saudi. Vaksin ini terdiri dari virus flu tidak berbahaya yang dikenal sebagai adenovirus type-5 (Ad5) untuk mengirimkan materi genetik dari virus corona ke dalam tubuh.

Vaksin ini dikembangkan bekerja sama dengan unit penelitian militer China. Menurut Kementerian Kesehatan Saudi, uji coba Fase III akan mendaftarkan sekitar 5.000 subjek. Studi ini akan membandingkan Ad5-nCOV dengan plasebo.

Saudi dikatakan sedang bersiap untuk melakukan studi di beberapa kota, termasuk Riyadh, Dammam dan Mekah.

Data uji coba sebelumnya menunjukkan bahwa kandidat vaksin aman dan menimbulkan respons imun pada sebagian besar peserta. CanSino melakukan studi fase pertama dan kedua dari vaksin di China.

 

3 dari 4 halaman

Jerman-AS Ragu, Filipina dan Irak Tertarik

Rusia mengklaim sebagai negara pertama dunia yang telah mendaftarkan vaksin Virus Corona COVID-19 dan siap diproduksi pada akhir Agustus 2020. Namun, efektivitas vaksin itu diragukan sejumlah pihak.

Salah satunya adalah Menteri Kesehatan Jerman Jens Spahn. Ia mengaku skeptis tentang Rusia menjadi negara pertama yang memberikan persetujuan regulasi untuk vaksin COVID-19.

Spahn menekankan pentingnya persetujuan regulasi yang merupakan kunci untuk memiliki produk vaksin yang aman dan teruji daripada sekadar status menjadi negara pertama produsen vaksin COVID-19.

Vaksin COVID-19 buatan Rusia bernama "Sputnik V" yang mengacu pada satelit pertama di dunia yang diluncurkan Uni Soviet, belum menyelesaikan uji coba terakhirnya. Namun, persetujuan regulasinya diberikan oleh pemerintah Rusia setelah kurang dari dua bulan uji klinis terhadap manusia.

"Ini bukan tentang entah bagaimana menjadi negara (produsen vaksin) yang pertama - ini tentang mendapatkan vaksin yang efektif, teruji dan karena itu aman untuk digunakan," kata Spahn kepada radio Deutschlandfunk, dikutip Rabu (12/8/2020).

"Untuk mendapatkan kepercayaan publik terhadap vaksin semacam itu, saya pikir sangat sangat penting, bahkan selama pandemi, untuk melakukan penelitian dengan benar, tes yang relevan dan terutama untuk mempublikasikan hasilnya. Masalahnya adalah kita hanya tahu sedikit tentang proses vaksin itu karena otoritas Rusia tidak terlalu transparan," ujar Spahn.

Menkes AS Sebut Rusia Tak Transparan

Menteri Kesehatan Amerika Serikat (AS) Alex Azar juga menanggapi pernyataan Rusia soal persetujuan atas vaksin COVID-19 yang dibuat negara itu, dengan menyebut bahwa penyediaan vaksin bukan tentang siapa yang tercepat.

"Ini bukanlah perlombaan menjadi yang pertama," ujar Azar.

"Ini adalah tentang menggunakan segenap kemampuan pemerintah AS, perusahaan, dan industri biofarmasi agar secepat mungkin kami dapat menyediakan vaksin untuk masyarakat AS, juga masyarakat dunia," imbuhnya.

Azar mengatakan, dua vaksin buatan AS telah memasuki fase III, yakni uji coba klinis, sejak beberapa pekan lalu--yang mana Rusia baru memulainya sekarang.

Ia juga menuduh Rusia menutup-nutupi informasi pengujian vaksin, dengan menyebut, "data dari uji coba tahap awal belum dibuka ke publik, sehingga tidak transparan."

Meskipun menolak gagasan mengenai adu cepat penyediaan vaksin, AS mengatakan, pengembangan vaksin miliknya berjalan amat cepat dan belum pernah terjadi sebelumnya bahwa uji coba fase I ke fase III dilakukan dalam jangka waktu sekitar lima bulan.

"Kami yakin bahwa (tim pengembang vaksin AS) sangat kredibel, dan kami akan mempunyai puluhan juta dosis vaksin terstandar pada akhir tahun ini, serta ratusan juta dosis lainnya pada awal tahun depan," Azar memungkasi.

Filipina dan Irak Tertarik

Presiden Filipina Rodrigo Duterte menyatakan bersedia berpartisipasi dalam proses uji coba vaksin Virus Corona buatan Rusia, setelah mendapatkan tawaran dari Moskow, yang ia harapkan akan diberikan secara gratis. Tak hanya itu, Duterte juga memuji upaya Rusia dalam mengembangkan vaksin tersebut.

Duterte menyampaikan, "Saya akan mengatakan kepada Presiden (Vladimir) Putin bahwa saya memiliki kepercayaan besar pada studi Anda dalam melawan COVID-19 dan saya juga percaya bahwa vaksin yang Anda hasilkan sangat baik untuk umat manusia."

Selain Rusia, sejumlah negara lainnya di dunia juga tengah berlomba-lomba untuk mengembangkan vaksin yang kini sangat dibutuhkan oleh jutaan orang di dunia tersebut.

Tetapi di sisi lain, hal ini juga menimbulkan kekhawatiran tentang efek samping karena cepatnya pengembangan yang dapat membahayakan keselamatan.

Namun untuk menghilangkan kekhawatiran publik, Presiden Duterte mengatakan bahwa ia bersedia untuk melakukan uji coba pada vaksin itu. "Saya bersedia menjadi orang pertama dari percobaan itu," ungkap Presiden Duterte.

Tak hanya itu, Kantor Kepresidenan Filipina pada 11 Agustus juga telah menyatakan bahwa negaranya siap untuk bekerja dengan Rusia, baik untuk uji coba vaksin, pasokan dan produksi.

Sebelumnya pada bulan Juli, Presiden Duterte juga sempat mengajukan permohonan kepada mitranya dari China untuk menjadikan Filipina sebagai prioritas jika berhasil mengembangkan vaksin Corona COVID-19.

Sementara itu, seorang pejabat bidang kesehatan di Irak mengatakan, negaranya berharap mendapatkan vaksin COVID-19 buatan Rusia jika telah disetujui secara internasional, setelah Kementerian Kesehatan Irak melaporkan 3.396 kasus baru dalam 24 jam terakhir.

Otoritas kesehatan Irak sedang melanjutkan upaya internasional untuk memproduksi vaksin coronavirus, ujar Riyadh Abdul-Amir, Kepala Departemen Kesehatan Masyarakat di bawah Kementerian Kesehatan Irak

Abdul-Amir melontarkan komentar tersebut beberapa jam usai Presiden Rusia Vladimir Putin menyatakan bahwa Rusia telah mendaftarkan vaksin Virus Corona baru pertama di dunia.

Sebanyak 3.396 kasus baru yang dilaporkan itu menambah total kasus infeksi di Irak menjadi 156.995, dengan 18.901 alat uji digunakan pada hari itu, papar kementerian tersebut dalam pernyataannya.

Sejauh ini, Irak sudah menggunakan 1.183.950 alat uji, imbuh pernyataan itu.

 

4 dari 4 halaman

6 Fakta Vaksin COVID-19 Buatan Rusia

Vaksin COVID-19 yang diumumkan Rusia sebagai yang pertama di dunia menimbulkan pro dan kontra. Banyak pihak yang meragukan keberhasilan Rusia membuat vaksin COVID-19.

Seperti dikutip dari berbagai sumber, berikut 6 fakta soal vaksin buatan Rusia bernama Sputnik V itu:

1. Diumumkan Putin

Presiden Rusia Vladimir Putin berharap vaksin itu dapat segera diproduksi massal. Ia mengumumkan bahwa vaksin buatan negaranya telah siap dan berterima kasih pada peneliti.

"Saya tahu itu terbukti efisien dan dapat membentuk kekebalan yang stabil," kata Putin, dikutip dari laman AP.

"Kita harus berterima kasih kepada mereka yang membuat langkah pertama itu sangat penting bagi negara kita dan seluruh dunia."

"Yang terutama, tentu saja, adalah bahwa di masa depan kami dapat memastikan keamanan tanpa syarat dari vaksin ini serta keefektifannya," kata Putin, sembari memberikan selamat kepada semua orang yang berperan dalam pembuatan obat tersebut, seperti dilansir Xinhua.

2. Diproduksi Akhir Agustus 2020

Wakil Perdana Menteri Rusia Tatyana Golikova pada pertemuan yang sama mengatakan bahwa dirinya memperkirakan produksi vaksin akan dimulai pada akhir Agustus atau awal September mendatang, dan para petugas kesehatan akan menjadi yang pertama divaksinasi.

Putin berharap produksi massal vaksin yang terdaftar itu akan dimulai di Rusia dalam waktu dekat, dan vaksinasi akan tersedia bagi semua orang di negara tersebut secara sukarela.

Putin mengatakan bahwa salah satu putrinya yang telah diberi vaksin COVID-19 itu merasa sehat setelahnya.

3. Diberi Nama Sputnik V

Vaksin yang diklaim Rusia telah ditemukan ini diberi nama Sputnik V. Rusia mengumumkan pada Selasa, 11 Agustus 2020 bahwa vaksin pertamanya itu untuk mencegah penularan Corona COVID-19.

Untuk menghormati momen antariksa dalam Perang Dingin lalu, mereka menamai vaksin itu dengan nama Sputnik V setelah satelit pertama dunia, yang disebut Sputnik, diluncurkan oleh Uni Soviet pada 4 Oktober 1957.

Nama tersebut menandakan keberhasilan negara tersebut menjadi yang pertama.

4. Diragukan Para Ilmuan

Para ilmuwan di Rusia dan negara lain seakan-akan membunyikan alarm, mengatakan bahwa mereka terburu-buru menawarkan vaksin sebelum pengujian tahap akhir dan itu bisa menjadi bumerang.

Apa yang disebut uji coba Fase 3 yang melibatkan puluhan ribu orang dan dapat memakan waktu berbulan-bulan. Itu adalah satu-satunya cara untuk membuktikan apakah vaksin eksperimental aman dan benar-benar berhasil, demikian dikutip dari laman AP.

Sebagai perbandingan, vaksin yang memasuki pengujian tahap akhir di AS membutuhkan studi masing-masing 30.000 orang. Dua kandidat vaksin telah memulai studi besar tersebut, dengan tiga lagi akan dimulai pada musim gugur.

"Persetujuan jalur cepat tidak akan menjadikan Rusia pemimpin dalam perlombaan, itu hanya akan membuat konsumen vaksin terkena bahaya yang tidak perlu," kata Asosiasi Organisasi Uji Klinis Rusia, dalam mendesak pejabat pemerintah untuk menunda persetujuan vaksin tanpa menyelesaikan uji coba lanjutan.

5. Disebut Molotov, Bukan Vaksin

Berbicara kepada Euronews, mantan Komisaris Asosiasi Makanan dan Obat AS (FDA) Peter Pitts, mengungkapkan keraguannya tentang pengumuman Rusia.

"Tidak ada data, tidak ada transparansi, tidak ada FDA di Rusia dan mereka memiliki sejarah menyetujui obat dan vaksin dengan sedikit atau tanpa pengujian," kata Pitts, yang juga Presiden Pusat Kedokteran di Masyarakat.

"Ini bukan vaksin dan lebih condong ke bom molotov pada saat ini, yang sebenarnya tidak kita butuhkan dalam pertempuran global melawan COVID-19".

Peter Pitts mengatakan kepada Euronews bahwa dia mengharapkan beberapa vaksin COVID-19 akan dikembangkan untuk demografi yang berbeda, tetapi fokus pada pengumuman terbaru Rusia yang harus dihindari.

"Kami tidak bisa membiarkan hype ini mengalihkan perhatian, yaitu vaksin yang solid, berkualitas tinggi, diperiksa dengan baik, dan diatur dengan baik."

"Malu rasanya jika kami membiarkan pengembangan vaksin yang tidak solid dan berbasis sains".

6. Hanya Diuji pada 76 Orang

Vaksin Rusia, bagaimanapun hanya diuji pada sekitar 76 orang. Itulah kabar buruk yang tersemat dalam pengumuman hari Selasa kemarin, demikian dikutip dari Barrons.com.

Obat-obatan yang diproduksi AS biasanya melalui tiga tahap pengujian klinis. Fase 1 adalah studi keamanan. Tahap 2 biasanya disebut sebagai studi dosis. Dan studi Tahap 3 adalah tentang keefektifan.

Uji coba fase 1 dan 2 berukuran serupa dengan tes yang telah dilakukan Rusia, tetapi studi fase 3 melibatkan ribuan peserta.

Uji coba vaksin Moderna (MRNA) Fase 1, misalnya, melibatkan sekitar 45 orang. Sekitar 600 orang terdaftar dalam studi Fase 2, sedangkan uji coba Fase 3 dimaksudkan untuk melibatkan 30.000 orang. Moderna tidak menanggapi permintaan komentar tentang klaim Rusia tersebut.