Liputan6.com, Jakarta - Pada Februari 2020 lalu, banyak platform sosial media mengikuti pertemuan yang diadakan oleh World Health Organisation untuk membahas misinformasi. Salah satu tujuan nya adalah memerangi terlalu banyak nya informasi yang tersebar atau "infodemic" di tengah pandemi COVID-19.
Biasanya, salah informasi hanya tertuju pada beberapa daerah saja. Namun pandemi COVID-19 kesalahan informasi dan fact-checking memiliki perbedaan tipis dalam meperbarui sebuah berita.
Baca Juga
Berikut adalah beberapa penemuan mengenai misinformasi tersebut.
Advertisement
Simak video pilihan berikut:
Tingkat Rertumbuhan yang Seragam
Misinformasi mengenai COVID-19 ini naik secara seragam, dari awal mula penyebaran yang terjadi pada Januari-Februari dan memiliki kenaikan drastis pada Maret dan April ketika virus tersebut telah tersebar secara global.
Menariknya, ada pola yang sama dari peningkatan bertahap dan kemudian tiba-tiba bahkan setelah verifikasi fakta dibagi ke dalam bahasa Spanyol, Hindi, Indonesia, dan Portugis.
Bahkan hal serupa juga terjadi secara global. Belum ada tren global yang setara untuk masalah lain seperti pemilu, terorisme, aktivitas polisi, atau imigrasi.
Advertisement
Beda Negara, Beda Miskonsepsi
Pada 16 Maret, Proyek Studi Konflik Empiris, bekerja sama dengan Microsoft Research, untuk memulai membuat katalog informasi yang salah tentang COVID-19.
Ini dimulai dengan menyusun artikel berita pada pelaporan oleh berbagai jaringan pengecekan fakta lokal dan kelompok global seperti Agence France-Presse dan NewsGuard.
Dalam riset itu tim mencoba menganalisa berita yang cenderung misinformasi. Dimulai dengan misalnya topik "asal virus". Ditemukan adanya informasi palsu bahwa virus tertular ke manusia akibat orang makan sup kelelawar.
Atau, "tanggap darurat" ditemukan adanya informasi salah mengenai pemerintah atau tanggapan politik untuk memerangi wabah virus.
Terlebih lagi, motivasi utama penyebaran informasi yang salah di media sosial adalah politik. AS adalah lingkungan politik yang terpolarisasi, jadi ini mungkin membantu menjelaskan tren misinformasi politik.
Tim juga menemukan bahwa China memiliki lebih banyak narasi informasi yang salah daripada negara lain. Hal ini dimungkinkan karena China memiliki penduduk yang besar dibanding negara yang lain.
Namun, perlu diperhatikan bahwa situs web pemeriksa fakta utama yang digunakan oleh Proyek Studi Konflik Empiris untuk informasi yang salah yang keluar dari China dijalankan oleh Partai Komunis China.
China menjadi salah satu negara yang memiliki banyak misinformasi tertinggi dalam sepuluh besar bada Januari hingga Juli 2020.
Saat memerangi kesalahan informasi, penting untuk memiliki pemeriksa fakta yang independen dan transparan seluas mungkin. Ini mengurangi potensi bias.
Fakta Berita Tentang Kesembuhan yang Tersebar
Ada juga narasi mengenai kesembuhan atau pengobatan palsu. Hal ini juga termasuk tindakan pencegahan yang belum tentu benar. Topik seperti ini cukup umum di China dan Australia.
Salah satu contohnya adalah video yang menjadi viral di media sosial yang menunjukkan hydroxychloroquine adalah pengobatan virus corona yang efektif, meski pihak kesehatan menyatakan bahwa itu belum tentu benar, dan penggunaanya memiliki efek samping yang berbahaya.
Mitos tentang "sifat virus" juga umum. Ini merujuk pada karakteristik spesifik virus - seperti virus tidak dapat menyebar ke permukaan.
Advertisement
Fakta COVID-19
Misinformasi ini tersebar berbeda di setiap tahap penyebaran virus. Terutama pada tahap awal pandemi, karena kurangnya penelitian ilmiah tentang virus SARS CoV-2.
Sebaliknya, teori yang berkaitan dengan tanggap darurat muncul kemudian dan tetap ada bahkan sekarang, karena pemerintah terus menerapkan langkah-langkah untuk memerangi penyebaran COVID-19.
Berbagai Macam Pemeriksa Fakta
Sejak Januari, hanya ada 25 persen dari 6.000 berita pemeriksaan fakta yang diterbitkan oleh lima situs pemeriksa fakta terbaik (diberi peringkat berdasarkan jumlah postingan). Sebagai perbandingan, 68 persen dari 3.000 pemeriksaan fakta perubahan iklim diterbitkan oleh lima situs web teratas.
Dari hasil, saat ini banyak situs pemeriksa fakta dari berbagai berita, saat ini berfokus memerangi informasi salah yang tersebar selama pandemi.
Untuk saat ini, pertahanan terbaik adalah bagi pemerintah dan platform online untuk meningkatkan kesadaran tentang informasi yang salah dan membangun infrastruktur pengecekan fakta yang kuat yang bisa mereka miliki.
Alih bahasa: Yohana Belinda
*Artikel ini menerbitkan kembali tulisan dari the Conversation berjudul 'Coronavirus misinformation is a global issue, but which myth you fall for likely depends on where you live' karya Jason Weismueller, Peneliti Doktoral, University of Western Australia; Jacob Shapiro, Profesor Politik dan Hubungan Internasional, Universitas Princeton; Jan Oledan, Spesialis Riset, Universitas Princeton, dan Paul Harrigan, Profesor Madya Pemasaran, Universitas Australia Barat. Artikel ini diterbitkan ulang di bawah lisensi Creative Commons.
Advertisement