Liputan6.com, Jakarta - Akibat munculnya penularan lokal Virus Corona COVID-19, pihak berwenang di Myanmar memutuskan untuk menerapkan lockdown pada Negara Bagian Rakhine. Kasus infeksi virus itu pun juga telah membuat para pengungsi etnis Rohingya khawatir di wilayah tersebut.
Setelah serentetan infeksi membuat Rakhine di-lockdown, Para etnis Rohingya itu mengkhawatirkan bahwa wabah COVID-19 dapat mencapai kamp-kamp tempat tinggal mereka yang penuh sesak.
Baca Juga
Hampir sebanyak 130.000 Muslim Rohingya tinggal dalam kondisi yang digambarkan oleh Amnesty International sebagai kondisi "apartheid" di kamp-kamp di sekitar Sittwe, Ibu Kota negara bagian Rakhine, seperti dikutip dari AFP, Senin (24/8/2020).
Advertisement
Salah satu warga Rohingya, Kyaw Kyaw, mengungkapkan, "Kami sangat khawatir dengan virus tersebut karena kami hidup dalam ketidakpastian dan (Virus Corona COVID-19) tidak akan mudah untuk dikendalikan."
"Tetapi jika lockdown berlangsung lama, kami akan ... membutuhkan bantuan," ujar Kyaw Kyaw kepada AFP.
Kyaw Kyaw juga menambahkan, bahwa semua warga di kamp telah mengisolasi diri di dalam ruangan.
Dalam sepekan terakhir, Kota Sittwe telah mencatat 48 kasus Virus Corona COVID-19, dan mencapai lebih dari 10 persen dari sekitar 400 kasus yang sejauh ini terdaftar di Myanmar.
Pada pekan ini, kamp Thae Chaung telah dikunjungi oleh pihak berwenang dalam rangka membahas tentang jarak sosial, memberikan pembersih tangan, dan wajah. Selain itu, jalan-jalan Sittwe juga tampak kosong pada 23 Agustus, dengan penduduk sekitar yang mengenakan masker.
Tak hanya itu, para pedagang kaki lima juga menjajakan pelindung wajah plastik (face shield) dan masker.
Saksikan Video Berikut Ini:
Perintah Jam Malam
Sejak Jumat 21 Agustus, perintah jam malam telah diberlakukan sementara semua transportasi umum termasuk penerbangan domestik ke ibu kota ditangguhkan.
Sementara itu, pemimpin kamp Hla Maung Oo mengatakan bahwa di Mrauk-U, di mana tiga kasus COVID-19 ditemukan pekan ini, penduduk setempat khawatir bila adanya pemberhentian sumbangan makanan untuk kamp pengungsian.
Ia menceritakan kepada AFP, "Kami tidak punya tempat untuk lari jika virus menyebar karena kami juga tidak bisa kembali ke desa kami."
Meskipun telah menetap di Myanmar selama beberapa generasi, minoritas muslim Rohingya dianggap sebagai pendatang "Benggala". Tak hanya itu, mereka juga tidak memiliki kewarganegaraan dan kebebasan mereka dibatasi diseluruh negeri.
Pada tahun 2017, sekitar 750.000 warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh setelah mengalami tindakan kekerasan oleh militer Myanmar. Hal itu menyebabkan negara tersebut menghadapi rangkaian tuduhan melakukan genosida di pengadilan tinggi PBB.
Advertisement