Jakarta - Persidangan kasus terorisme dengan terdakwa Brenton Harrison Tarrant mulai digelar di kota Christchurch, Selandia Baru. Dalam sidang, jaksa menyebutkan pria asal Australia itu sempat tertawa saat melakukan aksinya.
Terdakwa melakukan serangan terhadap jamaah salat Jumat di Masjid Al Noor dan Mushala Linwood di Christchurch, menewaskan 51 orang dan melukai 40 lainnya.
Mengutip laporan ABC Indonesia, Selasa (25/8/2020), Brenton yang kini berusia 29 tahun tampak tak menunjukkan ekspresi ketika Jaksa Penuntut Umum (JPU), Barnaby Hawes membacakan tuntutannya.
Advertisement
Baca Juga
Jaksa Barnaby menggambarkan kebengisan terdakwa saat melepaskan tembakan berkali-kali ke arah jamaah pria, perempuan dan anak-anak, termasuk mereka yang sudah terluka parah dan menangis minta tolong.
Tuntutan jaksa menyatakan setelah serangan itu, Brenton sempat menyampaikan ke polisi bahwa dia ingin "membunuh sebanyak mungkin orang" dan menghancurkan setiap masjid yang ada.
"Dia bermaksud menanamkan rasa takut pada orang-orang yang dia gambarkan sebagai penjajah," kata Jaksa Hawes.
Istilah penjajah yang dimaksudkan terdakwa, menurut Barnaby adalah umat Islam dan warga non-Eropa lainnya.
"Dia mengaku ingin menurunkan jumlah imigran secara fisik dengan menyingkirkan para penjajah itu serta menciptakan suasana ketakutan dan perubahan," katanya.
"Dia mengaku ingin menembak lebih banyak orang lagi daripada yang telah dilakukannya,"Â imbuh Jaksa Hawes.
Dalam sidang pertama ini, terungkap juga jika setelah melakukan aksinya di Al Noor dan Linwood Islamic Center, terdakwa sedang dalam perjalanan ke masjid ketiga ketika berhasil dicegat dan ditangkap polisi.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Lakukan Penembakan Berulang
Disebutkan pula dalam persidangan jika Brenton yang berasal dari Australia memulai aksinya dengan menembaki empat pria yang sedang dalam perjalanan ke masjid Al Noor, saat ia sedang memasuki gerbang masjid.
Berkali-kali disebutkan dalam persidangan jika Brenton bukan hanya menembaki mereka yang mencoba melarikan diri, tapi juga mendekati para korbannya dan langsung menembak mereka ketika korban sudah terbaring dalam posisi tengkurap.
Disebutkan, pada saat terdakwa menyusuri koridor dari pintu masuk masjid ke ruang salat, para jamaah bertumpuk di dua pintu keluar, berusaha mati-matian untuk melarikan diri.
Brenton dipastikan melepaskan 32 kali tembakan senjata mesin secara berurutan ke salah satu grup, sebelum mengarahkan moncong senjatanya ke grup jamaah lainnya.
Pada saat inilah, ada salah seorang bernama Naeem Rashid, yang "berlari ke arah terdakwa" saat dia mengalihkan pandangan.
Naeem sudah berjarak sekitar satu meter dari Tarrant sebelum dia kembali berbalik.
Brenton kemudia melepaskan empat kali tembakan kepada Naeem dan melanjutkan tembakannya dari jarak dekat, setelah Naeem jatuh terlentang "dengan lengan dan lutut ke dada" sebagai upaya melindungi diri.
Menurut Jaksa Barnaby, "tindakan Naeem Rashid tersebut memungkinkan sejumlah jamaah lainnya meloloskan diri" dari pembantaian yang dilakukan terdakwa.
Mereka yang berhasil lolos termasuk seorang remaja pria berusia 16 tahun, yang sudah keluar dari masjid dan coba bersembunyi, namun kemudian ditembak mati oleh Tarrant.
Setelah mengambil tambahan peluru dari mobilnya, terdakwa kembali ke dalam masjid mendatangi tumpukan orang yang sebagian di antaranya sudah tewas.
Tarrant membidik mereka yang masih bergerak, termasuk "dua tembakan langsung" ke bayi berusia tiga tahun yang "memegangi kaki ayahnya".Bayi tersebut tewas di tempat kejadian, merupakan korban paling muda dari aksi terdakwa teroris ini.
Advertisement
Tertawa dalam Melakukan Aksinya
Setelah keluar dari masjid Al Noor, Brenton kemudian menuju ke lokasi kedua di Linwood dan menembaki sejumlah orang yang dia anggap sebagai orang Islam dalam perjalanan itu.
Menurut Jaksa Barnaby, selama perjalanan "terdakwa berbicara mengomentari dan tertawa-tawa mengenai kejadian yang sedang berlangsung tersebut".
Begitu sampai di Mushala Linwood, ia melakukan serangan seperti yang dilakukannya di Masjid Al Noor.
Dia menembak berulang kali ke siapa pun yang menghalangi jalannya, kemudian mendekati mereka yang sudah terluka parah, termasuk seorang pria yang meringkuk dan memohon dengan iba agar tidak ditembak, serta seorang perempuan yang sudah tengkurap di tanah.
Di Linwood pun ada aksi heroik dari seorang jamaah pria yang berlari ke arah Brenton sembari berteriak. Lalu ada jamaah lain yang mengambil senjata yang dibuang Brenton dan melemparkannya ke mobil terdakwa saat melarikan diri dari lokasi kejadian.
Lemparan senjata ini menyebabkan kaca jendela mobil Tarrant hancur.
Selama penyerangan di dua lokasi, terdakwa memasang kamera go-pro di helm yang dia kenakan dan menyiarkannya secara langsung di salah satu media sosial.
Dia juga mengaktifkan lampu sorot di helmnya "untuk menciptakan kebingungan" saat dia mendekati jamaah yang akan dibunuhnya.
Selain sejumlah senjata mesin berkecepatan tinggi, Brenton juga membawa empat kontainer bensin yang dimodifikasi, yang menurut jaksa dimaksudkan untuk digunakan membakar masjid setelah penembakan.
Belum diketahui mengapa pria asal Australia ini tidak merealisasikan rencana membakar masjid itu. Namun menurut pemeriksaan polisi, Brenton mengaku menyesal karena tidak melakukannya.
Sempat Lakukan Pengintaian
Jaksa Barnaby dalam tuntutannya menyebutkan jika terdakwa mengajukan izin kepemilikan senjata api di Selandia Baru pada September 2017.
Ada waktu sekitar satu setengah tahun sejak ia mengajukan kepemilikan senjata dengan aksi yang dilakukannya.
Dalam periode itu ia diketahui mulai mengumpulkan senjata, memodifikasinya agar lebih mematikan, mengasah keterampilan menembaknya serta menyusun rencana serangan.
Disebutkan dalam persidangan bahwa pada Januari 2019, dua bulan sebelum serangan 15 Maret, Tarrant pergi ke Christchurch dalam misi "pengintaian".
Dia memarkir mobilnya tepat di seberang Masjid Al Noor lalu menggunakan drone untuk mengamati bangunan di jalan Deans Avenue, termasuk mengamati pintu masuk dan keluar masjid.
Jaksa Barnaby mengatakan pada saat itu terdakwa "membuat catatan terperinci" tentang masjid, "untuk memastikan jumlah jamaah maksimum yang akan hadir" ketika dia melakukan kejahatan.
Kemudian pada tanggal 15 Maret 2019, Brenton meninggalkan rumah sewanya di Dunedin dan berangkat ke Christchurch.
Lalu, terjadilah peristiwa yang dalam kata-kata Perdana Menteri Jacinda Ardern disebut sebagai "hari paling kelam" di Selandia Baru.
Sebelum pembantaian itu, Brenton mengirimkan manifesto yang ditulisnya, yang berjudul The Great Replacement" ke Parlemen Selandia Baru, selain juga dimuat di situs kelompok ekstremis kulit putih dan ke berbagai media.
Dalam sidang juga terungkap Brenton sempat menghubungi keluarganya di Australia, memberitahu mereka bagaimana menghadapi polisi dan media setelah pembataian tersebut.
Advertisement