Sukses

Setelah 30 Tahun, Sudan Pisahkan Agama dan Negara dalam Sistem Pemerintahan

Pemerintah Sudan memutuskan untuk memisahkan urusan agama dari negaranya.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah transisi Sudan setuju untuk memisahkan agama dari negara, mengakhiri 30 tahun pemerintahan Islam di negara Afrika Utara itu.

Mengutip laporan Gulf News, Selasa (8/9/2020), Perdana Menteri Sudan Abdalla Hamdok dan Abdel-Aziz al-Hilu, seorang pemimpin kelompok pemberontak Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan-Utara, menandatangani deklarasi di ibukota Ethiopia, Addis Ababa, pada hari Kamis dengan mengadopsi prinsip tersebut.

"Agar Sudan menjadi negara demokratis di mana hak-hak semua warga negara dijunjung, konstitusi harus didasarkan pada prinsip 'pemisahan agama dan negara,' yang tidak ada hak untuk menentukan nasib sendiri yang harus dihormati," menurut dokumen tersebut.

Kesepakatan itu datang kurang dari seminggu setelah pemerintah memulai kesepakatan damai dengan pasukan pemberontak yang meningkatkan harapan diakhirinya pertempuran yang melanda Darfur dan bagian lain Sudan di bawah diktator yang digulingkan Omar al-Bashir. 

Kelompok yang lebih besar dari dua faksi di Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan-Utara, yang telah memerangi pasukan Sudan di negara-negara perbatasan negara itu, telah menolak untuk menandatangani perjanjian apa pun yang tidak menjamin sistem sekuler.

Saksikan Video Pilihan di Bawah ini:

2 dari 2 halaman

Kebangkitan Sudan

Saat ini, Sudan sedang bangkit dari isolasi internasional yang dimulai segera setelah Bashir merebut kekuasaan pada tahun 1989 dan menerapkan interpretasi garis keras terhadap hukum Islam yang berusaha menjadikan negara itu "pelopor dunia Islam."

Hal itu membuat Al-Qaeda dan Carlos the Jackal pun akhirnya menetap di sana. Kemudian, AS menunjuk Sudan sebagai sponsor teror pada 1993 dan menjatuhkan sanksi hingga 2017.