Sukses

Jerman Khawatirkan Demam Babi Afrika, Berbahaya Bagi Manusia?

Bangkai seekor babi hutan yang ditemukan di Jerman positif terinfeksi African swine fever atau ASF. Demam babi Afrika pun kini tengah mengkhawatirkan negara tersebut.

Berlin - Kemunculan demam babi Afrika ASF tengah memicu kekhawatiran para peternak di Jerman. Berbahayakah penyakit itu bagi manusia?

African swine fever atau demam babi Afrika ASF, normalnya tidak berbahaya bagi manusia. Tapi untuk babi ternak, penyakit akibat virus ini berdampak mematikan.

Inilah yang memicu kekhawatiran di kalangan peternak babi Jerman, setelah kementerian pertanian federal mengumumkan pada 10 September, menemukan bangkai seekor babi hutan yang lewat test terbukti positif terinfeksi ASF di negara bagian Brandenburg di kawasan dekat perbatasan ke Polandia.

Temuan ini tidak mengejutkan kalangan peternak maupun pejabat kementerian pertanian. Pasalnya seperti dikutip dari DW Indonesia, Selasa (15/9/2020), sejak bulan November 2019 untuk pertama kalinya terdeteksi infeksi ASF pada seekor babi buta di kawasan barat Polandia. Karena itu negara-negara tetangga Polandia, termasuk Jerman, sudah siaga menghadapi penyebaran penyakit demam babi Afrika itu melintas perbatasan dibawa babi hutan.

Apa Sebetulnya Penyakit ASF?

Ilustrasi bayi babi mutan. (AP)

Penyakit demam babi Afrika atau ASF dipicu oleh virus yang menyerang babi hutan atau babi peliharaan di peternakan. Binatang yang terinfeksi mengalami demam tinggi dan pendarahan di organ bagian dalam tubuhnya. Sekitar 90% babi hutan yang terinfeksi ASF mati dalam jangka waktu seminggu.

Penyakitnya menular lewat kontak dengan cairan tubuh atau darah babi hutan atau babi ternak yang terinfeksi. Virus masih tetap aktif dalam bangkai hewan yang mati akibat penyakitnya, bahkan sampai beberapa bulan atau tahun. Tapi penyakit ini biasanya tidak menular pada manusia.

Saksikan Juga Video Ini:

2 dari 3 halaman

Dari Mana Asal Penyakit?

Seperti tersirat dari namanya, penyakit swine fever atau demam babi ini asalnya dari Afrika. Diagnosa pertama berasal dari tahun 1910 saat Inggris menjajah Kenya. Bersama dengan kolonialisme juga para penjajah membawa ternak babi Eropa ke Afrika Timur. Petenakan besar jadi persemaian ideal bagi virus ASF. Dan petenak babi di Afrika berulangkali dilanda wabah ini pada abad yang lalu.

Demam babi Afrika pertama kalinya masuk ke Eropa tahun 2007 lewat kawasan Kaukasus, dari sana kemudian menyebar ke Rusia lalu ke kawasan Baltik, Polandia dan negara-negara Eropa timur lainnya. Bulan Septembar 2018 penyakit demam babi ditemukan di Belgia. Tahun 2020 Jerman mengkonfirmasi menemukan bangkai seekor babi hutan yang mati akibat ASF.

Bagaimana Cara Penyebaran Virus?

Ilustrasi bayi babi mutan. (AP)

Di Afrika virus menular lewat sejenis kutu. Di Eropa penyebarannya terutama lewat impor babi yang terinfeksi atau produk olahan daging babi seperti sosis babi, atau akibat tidak menerapkan aturan higiene. Babi hutan sebetulnya hanya memainkan peranan sangat kecil dalam penyebaran virusnya.

Faktor risiko terbesar dalam penyebaran wabah ASF adalah manusia. Banyak yang membuang sisa daging secara sembarangan. Sementara di peternakan atau pertanian, masih banyak yang tidak mengindahkan aturan higiene. Padahal aturan ini dibuat untuk melindungi ternak dari penyakit dan juga peternaknya dari kerugian ekonomi.

3 dari 3 halaman

Apakah Sudah Ada Vaksinnya?

Sejauh ini di kawasan Uni Eropa belum ada vaksin anti ASF. Di seluruh dunia, dilakukan risetnya dalam beragam cara. Cina tergolong negara yang paling depan dalam riset vaksin anti demam babi ini, karena wabahnya pada tahun 2018 di Cina menimbulken kerugian ekonomi besar. Itu sebabnya, Cina menjadi negara pertama yang melarang impor daging babi dari Jerman, sebagai tindakan preventif.

Para peneliti Cina mengumumkan bulan Maret 2010, berhasil mengembangkan vaksin yang aman, yang mampu melindungi babi dari ASP. Ujicoba lapangan pertama dilaporkan sukses. Ujicoba kini akan dilaklukan dalam skala lebih luas.

Namun diragukan bahwa vaksin ini bisa dengan cepat diizinkan beredar di Eropa. Pasalnya, vaksin buatan Cina diproduksi pada babi hidup di dalam sum-sum tulang belakangnya. Sementara aturan di Eropa, vaksin harus dibuat dari kultur sel bersertifikat di laboratorium. Juga vaksin buatan Cina dikembangkan pada babi peliharaan di rumah, bukan untuk babi di peternakan.

Jika vaksin untuk babi peliharaan yang aman sudah dipasarkan, vaksinnya akan diujicoba pada babi hutan. Untuk itu diperlukan rangkaian uji coba panjang dalam beberapa fase. Dengan itu diharapkan penyebaran wabah lewat babi hutan bisa diredam.