Liputan6.com, Jakarta - Pada 22 September 1862, Presiden Abraham Lincoln mengeluarkan Proklamasi Emansipasi yang menetapkan tanggal untuk kebebasan lebih dari 3 juta orang yang diperbudak di Amerika Serikat dan menyusun kembali Perang Saudara sebagai perang melawan perbudakan.
Mengutip history.com, Senin (21/9/2020), ketika Perang Saudara meletus pada 1861, tak lama setelah pelantikan Lincoln sebagai presiden Amerika ke-16, dia menyatakan perang itu bukan tentang perbudakan.Â
Advertisement
Dia menghindari mengeluarkan proklamasi anti-perbudakan dengan segera, meskipun ada desakan dari kaum abolisionis dan radikal Republik, serta keyakinan pribadinya bahwa perbudakan secara moral bukan hal yang baik.Â
Sebaliknya, Lincoln memilih untuk bergerak dengan hati-hati sampai dia dapat memperoleh dukungan luas dari publik untuk tindakan seperti itu.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Orang Berkulit Hitam Ikut Militer
Pada Juli 1862, Lincoln memberi tahu kabinetnya dia akan mengeluarkan proklamasi emansipasi tetapi keputusan tersebut akan membebaskan apa yang disebut negara perbatasan, yang memiliki pemilik budak tetapi tetap setia kepada Serikat.Â
Kabinetnya membujuknya untuk tidak membuat pengumuman sampai setelah kemenangan Serikat.Â
Kesempatan Lincoln datang setelah kemenangan Serikat pada Pertempuran Antietam pada September 1862. Pada 22 September, presiden mengumumkan orang-orang yang diperbudak di daerah yang masih memberontak dalam waktu 100 hari akan dibebaskan.
Pada 1 Januari 1863, Lincoln mengeluarkan Proklamasi Emansipasi terakhir, yang menyatakan "bahwa semua orang yang ditahan sebagai budak" di negara-negara pemberontak akan bebas.
Proklamasi juga menyerukan perekrutan dan pembentukan unit militer beranggotakan warga kulit hitam di antara pasukan Union. Diperkirakan 180.000 orang Afrika-Amerika melanjutkan dinas militer, sementara 18.000 lainnya bertugas di angkatan laut.
Advertisement