Sukses

Kemlu Minta Netizen Indonesia Hentikan Serangan ke Instagram Vanuatu

Netizen Indonesia menyerang Vanuatu di media sosial dengan kata-kata rasis dan ungkapan menghina lainnya.

Liputan6.com, Jakarta - Netizen Indonesia menyerang Vanuatu di media sosial Instagram. Komentar-komentarnya bernada rasis, seksis, cabul, hingga meledek budaya dan ekonomi Vanuatu. 

Pihak Kementerian Luar Negeri mengaku tidak mengikuti serangan netizen di Instagram milik Vanuatu. Namun, Kemlu tidak merestui adanya serangan bernada rasis dan tidak proporsional.

"Kalau memang ternyata benar ada serangan netizen yang berlebihan dan tidak proporsional, ada baiknya dihentikan karena bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang mempersoalkan perbedaan ras," ujar (Plt.) Juru Bicara Kemlu Teuku Faizasyah kepada Liputan6.com, Selasa (29/9/2020).

Faiza lantas mengingatkan bahwa Indonesia sendiri merupakan bangsa yang memiliki beragam ras.

"Kita toh terdiri dari banyak suku bangsa dan ras," tegasnya.

Perseteruan ini bermulai dari komentar Perdana Menteri Vanuatu Bob Leighman di Sidang Umum PBB ke-75. Saat itu, PM Leighman berkomentar terkait pelanggaran HAM dan meminta agar Indonesia mengizinkan Komisioner HAM PBB masuk ke Papua Barat. 

Komentar PM Leighman lantas dibalas oleh diplomat Indonesia di PBB agar Vanuatu tidak ikut campur urusan dalam negeri Indonesia dan bahwa Vanuatu bukan representasi Papua. 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 3 halaman

Tahun Lalu, Indonesia Juga Tegur Vanuatu di PBB

Tahun lalu, Vanuatu mengangkat isu Papua dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, AS. Pemerintah Indonesia menggunakan hak jawabnya dengan menyebut motif Vanuatu  bukan dilatari kepedulian terhadap hak asasi manusia, melainkan kepentingan negara itu mendukung gerakan separatis di Indonesia.

"Vanuatu ingin menunjukkan kesan ke dunia bahwa mereka mendukung isu HAM, tetapi motif yang sebenarnya, negara itu mendukung agenda separatis (di Provinsi Papua Barat)," ujar Diplomat Kementerian Luar Negeri Indonesia Rayyanul Sangaji dalam sesi hak pertama menjawab (1st Right of Reply) pada Sidang ke-74 Majelis Umum PBB di New York, seperti dikutip dari Antara, Senin 20 September 2019.

Menurut Rayyanul, langkah provokatif Vanuatu menunjukkan dengan terang bahwa aksi separatis di Papua tidak lagi bersifat lokal karena telah didukung negara tersebut (state-sponsored separatism). 

Vanuatu adalah tempat berdirinya gerakan separatis "United Liberation Movement for West Papua" pada 7 Desember 2014. Organisasi itu dipimpin tokoh separatis Papua yang saat ini telah menjadi warga negara Inggris, Benny Wenda.

Dalam sesi debat umum itu, Rayyanul memperkenalkan dirinya merupakan orang asli Papua dan keturunan ras Melanesia. Ia mengatakan, dukungan Vanuatu terhadap agenda separatis di Papua hanya membuat konflik di sana kian memanas.

Akibatnya, banyak warga sipil jatuh jadi korban dan sejumlah infrastruktur pun rusak akibat konflik di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. "Vanuatu tidak sadar bahwa aksinya memberikan harapan kosong, bahkan memicu konflik. Perbuatan tersebut sangat tidak bertanggung jawab," kata Rayyanul. 

 

3 dari 3 halaman

Menolak Gerakan Separatis

Dalam kesempatan menjawab klaim Vanuatu terhadap Papua, Rayyanul turut meminta agar negara di Pasifik itu kembali membaca fakta dan catatan sejarah sebelum mendukung aksi separatis di provinsi paling timur Indonesia.

"Saya minta Vanuatu kembali membaca catatan sejarah Papua. Jika sudah, saya minta Anda sekali lagi membaca keseluruhan fakta sampai kalian mendapatkan gambaran yang jelas mengenai status Papua," ujar Rayyanul di hadapan Majelis Umum PBB.

Rayyanul menjelaskan, sejak Indonesia merdeka, Papua telah menjadi kesatuan wilayah negara tersebut. Oleh karena itu, ia mengaku gagal memahami sikap Vanuatu yang kerap mengangkat isu Papua serta mencampuri urusan dalam negeri Indonesia pada forum-forum dunia.

Dalam sesi itu, Rayyanul juga menerangkan pemerintah Indonesia terus berkomitmen melindungi HAM seluruh warganya, termasuk rakyat Papua. Pernyataan itu disampaikan guna mengklarifikasi klaim pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah Indonesia di Papua.

"Di negara demokratis seperti Indonesia, kerja pemerintah selalu diawasi rakyat, termasuk di antaranya lembaga HAM yang independen dan kredibel," kata Rayyanul.

Diplomat kelahiran Papua itu menutup pernyataannya dengan mengatakan Indonesia dibentuk dari ragam suku dan etnis. Walaupun demikian, ia berkata, "kita semua bersaudara."