Sukses

HEADLINE: Joe Biden Serang Donald Trump soal COVID-19 di Debat Capres AS, Siapa Unggul?

Berlangsung panas. Penuh dengan interupsi. Debat perdana calon presiden Amerika Serikat, antara Donald Trump dan Joe Biden, berujung kekecewaan.

Liputan6.com, Jakarta - Berlangsung panas. Penuh dengan interupsi. Debat perdana calon presiden Amerika Serikat, antara Donald Trump dan Joe Biden, berujung kekecewaan.  

Debat perdana Pilpres AS 2020 ini berlangsung pada Selasa 29 September malam waktu setempat di Cleveland, Ohio. Lokasi debat harusnya di Universitas Notre Dame di Indiana, namun dibatalkan akibat COVID-19.

Istri para capres, Melania Trump dan Jill Biden turut hadir di debat perdana. Melania tampil formal namun glamor dengan setelan dan celana panjang Dolce Gabbana, dilengkapi sepatu Manolo Blahnik. Sementara, Jill Biden mengenakan dress hijau tua.

Debat didahului kata sambutan dari Commission on Presidential Debates, sebelum Chris Wallace dari Fox News masuk ke panggung. Berbeda dari debat tahun-tahun sebelumnya, tak ada sorakan dari para pendukung pada debat ini.

Awalnya, debat berjalan kondusif. Donald Trump memberi pernyataan tentang Mahkamah Agung dan keduanya berbicara dengan santun. Tak berlangsung lama, kondisi itu berubah jadi kacau.

Donald Trump selalu merespons Joe Biden setiap kebijakannya disebut. Presenter Chris Wallace berkali-kali mengeraskan suaranya agar mengendalikan jalannya debat. Intervensi yang Trump lakukan terjadi sepanjang debat.

Sebagai catatan, Joe Biden menjadi orang pertama yang memotong pembicaraan ketika Donald Trump sedang memberi respons terkait hakim Mahkamah Agung.

Debat semakin panas ketika pembahasan menyentuh COVID-19. Warganet, media, dan pengamat politik sama-sama kecewa dengan jalannya debat. Debat capres antara Donald Trump dan Joe Biden ini pun jadi sorotan dunia karena jalan debat yang panas dan relatif kacau. 

Pada topik terkait pandemi COVID-19, Donald Trump tampak emosional ketika pesaingnya, Joe Biden, membahas jumlah korban jiwa. "Presiden tak punya rencana. Ia tak merencanakan apapun," ujar Biden.

Biden turut mengkritik Trump yang menutupi pandemi COVID-19 karena tak ingin masyarakat panik. Ia berkata, yang panik adalah Donald Trump.

Donald Trump lantas mengkritik Biden yang pernah protes kebijakan Trump untuk menutup penerbangan dari China. "Jika kami mendengarkanmu, negara ini akan terbuka lebar, jutaan orang akan meninggal, tidak 200 ribu. Satu orang saja sudah banyak. Ini salah China. Ini seharusnya tidak terjadi," jawab Trump.

Masalah jadwal vaksin COVID-19 juga menjadi perdebatan. Donald Trump yakin perusahaan farmasi bisa menyediakan vaksin dalam hitungan minggu, ia berjanji akan memakai militer untuk mendistribusikannya.

Namun, Joe Biden meragukan klaim Donald Trump. Ia mengingat ketika Trump pernah menyebut COVID-19 bakal lenyap pada April lalu.

"Saya tak mempercayai dia sama sekali," ujar Joe Biden. "Distribusi vaksin itu tak akan berlangsung sampai pertengahan tahun depan jika kita punya vaksinnya. Dan berdoalah pada Tuhan kita akan mendapatkannya," lanjut Biden.

"Kamu segera akan mendapat vaksinnya," timpal Trump.

Berdasarkan polling situs FiveThirtyEight, skor Joe Biden unggul dari segi performa dan kebijakan. Pada segi performa, Biden mendapat skor 59,7 persen baik, sementara pada segi kebijakan Biden meraih 56,6 persen skor baik. 

Donald Trump hanya mendapat 32,9 persen skor baik untuk performa dan 39,1 persen untuk kebijakan. Meski demikian, mayoritas pendukung tetap berkomitmen mendukung calon favorit mereka. Sebanyak 84 persen loyalis Biden masih setia mendukung, begitu pula 82 persen loyalis Trump.

Pada sisi lain, pengamat politik menilai tidak ada yang menang dalam debat capres tersebut, malah rakyat Amerika disebut kalah. "Ada yang jelas-jelas kalah pada debat semalam: Anda. Ya, Anda, pemilih di Amerika," ujar analis politik dari New York Times, Lisa Lerer. 

Ia berkata debat presiden seharusnya menjadi momen yang khidmat, namun debatnya malah menjadi "sebuah kekacauan panas. Yang terbakar. Di tempat sampah."

Sentimen serupa disampaikan jurnalis Megyn Kelly yang pernah bekerja di media konservatif (Fox News) dan liberal (NBC).

"Pecundang terbesar dalam debat ini: kita!" tulis Megyn Kelly lewat Twitternya. 

Lebih lanjut, Megyn Kelly berkata seharusnya moderator debat capres diberi kemampuan untuk mematikan microphone peserta debat. Kamera juga diminta agar tidak menyorot wajah kandidat yang sedang menyela. Ia yakin tanpa bantuan visual dan audio, maka pihak yang menyela akan bungkam.

Megyn Kelly dengan bercanda menyebut justru penyanyi Kanye West yang jadi unggulan. "Pemenang besar malam ini: Kanye?" ujarnya.

 

 

Ketua Indonesian Institute of Advanced International Studies (INADIS) Suzie Sudarman menilai debat perdana Capres AS yang turut mengangkat isu Corona COVID-19 adalah wajar. Ia menilai hal ini jelas bisa digunakan Joe Biden untuk menyerang lawan politiknya yaitu Donald Trump, yang dianggap lemah dan tak bisa mengatasi hal ini.

"Dalam interviewnya bersama Bob Woodward pada Januari 2020, Donald Trump sudah tahu virus ini sangat berbahaya. Korbannya sudah jelas hingga 200 ribu orang dan diprediksi akan bertambah 200 ribu orang lain hingga akhir tahun. Sejak Januari 2020, Trump tidak melakukan apapun, hanya mengatakan bahwa penyakit ini akan hilang dengan sendirinya," ujar Suzie yang juga pengajar Ilmu Hubungan Internasional di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia ini, kepada Liputan6.com, Kamis (1/10/2020).

"Padahal, dalam interview bersama Bob Woodward, Trump mengatakan bahwa ia sudah tahu penyakit ini dan ada di udara. Kenapa ia tidak melakukan sesuatu dan jelas ini adalah elemen yang harus diangkat dalam debat pilpres sebab ini menyangkut kesehatan warga Amerika Serikat."

Suzie Sudarman juga menegaskan, COVID-19 ini melemahkan Presiden Trump.

"Kebetulan isu yang paling melemahkan adalah isu penanggulangan COVID-19. Lalu, anggapan warga AS tentang debat itu jelas dikatakan Donald Trump yang berbicara hanyab pada pendukungnya namun Joe Biden berbicara pada rakyat Amerika Serikat. Di situ bedanya," ujar Suzie.

"Lalu, kesan debat COVID-19 ini penting atau tidak, tentu ini penting sebab ada korban meninggal dunia. Kalau tidak ada korban meninggal, maka isu ini dianggap lemah," tambahnya.

Sementara Suzie menilai Biden telah menjadi ciri dari apa yang sudah hilang sejak empat tahun ini. Cirinya, rakyat yang selalu diperhatikan. Sebab Biden pernah katakan pada rakyat Amerika Serikat; "Adakah dalam satu keluarga Anda yang kursinya kosong yaitu ini akibat dari penanggulangan COVID-19 yang tidak baik."

"Lalu Biden juga pernah bertanya lagi, apakah presiden yang ada ini sudah melalukan hal baik untuk kehidupan Anda. Itu jelaskan pertanyaan-pertanyaan retorika menunjukkan Donald Trump itu tidak mampu."

Ia pun memberi skor debat perdana Capres AS ini 1-0 untuk keunggulan Joe Biden. "Saya bilang Joe Biden yang unggul. Sebab ia tradisionalis. Ia mengikuti alur yang lazim diterima rakyat Amerika Serikat. Donald Trump ini 'seorang anak kecil yang nangis-nangis'."

"Jadi perbuatan dia ini ekstrem. Sebetulnya dia ini tidak mampu. Tradisi itu penting sekali. Seperti warga Indonesia yang toleran. Jika jadi fanatik itu tidak bisa."

"Manusia itu is the result of the history. History yang membentuk manusia itu. Dan manusia bisa merubah history itu. Dan ini yang diubah adalah history Amerika Serikat oleh Donald Trump dan terkadang perubahan itu tidak semua merasa nyaman," Suzie menegaskan.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 4 halaman

Masyarakat Kecewa, Pendukung Partai Bangga

Masyarakat AS tak bisa menahan kekecewaan saat melihat performa kedua capres. Bagi loyalis Trump dan Biden, tentunya capres mereka dinilai unggul. 

Ronna McDaniel, Ketua Komite Nasional Partai Republik, usai debat mencuit bahwa “Selama sembilan puluh menit, @realDonald Trump mengemukakan alasan yang meyakinkan, mendominasi dan mengagumkan untuk terpilih kembali dan membawa Joe Biden ke tugas mendukung kebijakan-kebijakan radikal yang akan menaikkan pajak, menghancurkan lapangan pekerjaan dan membuat komunitas kita kurang aman."

Sebaliknya, Tim Murtaugh, Direktur Komunikasi Tim Kampanye Trump, mengatakan kepada VOA bahwa kinerja presiden "sangat hebat."

"Apa yang disaksikan pemirsa adalah Presiden Trump yang memimpin dalam setiap kesempatan debat, dan menurut saya apa yang mereka lihat adalah Joe Biden yang lemah, yang mencari-cari seseorang untuk menyelamatkannya," kata Murtaugh.

Sementara itu tokoh-tokoh Demokrat menyebut debat itu dimenangkan oleh mantan Wakil Presiden Biden. Mereka mengatakan kinerja Trump memberi alasan luas untuk tidak memberinya masa jabatan kedua.

“Donald Trump telah mengecewakan negara ini dengan kebohongannya, kefanatikannya, dan kepemimpinannya yang ceroboh,” cuit Senator Cory Booker dari New Jersey. Booker secara khusus mengecam presiden karena menolak mengutuk supremasi kulit putih, malah mendesak mereka untuk "stand-by."

Yang lainnya, seperti mantan senator dari Partai Republik Jeff Flake, menyatakan kesedihan atas tontonan itu secara keseluruhan. “Kita negara yang lebih baik daripada yang dipertontonkan malam ini,” cuit Flake.

Pakar ilmu politik dari University of Virginia Larry Sabato menulis pesan blak-blakan tengan huruf kapital di akun Twitternya: “BATALKAN DEBAT CAPRES YANG TERSISA.”

Berdasarkan data Adam Brown Social Media Comand Center di University of Tennesee, reaksi netizen ternyata tidak positif. Secara keseluruhan kesannya dilaporkan negatif.

Dilaporkan USA Today, sekitar 67 persen tweet tentang kedua capres membawa sentimen negatif. Namun, Joe Biden sedikit unggul.

Sebanyak 60 persen memberikan sentimen negatif ke Joe Biden, sementara Donald Trump mendapat 67 persen sentimen negatif.

Debat perdana tahun ini juga lebih buruk dari debat perdana antara Donald Trump dan Hillary Clinton. Saat itu, sentimen negatif "hanya" 62,3 persen.

Netizen juga tidak puas dengan moderator Chris Wallace dibandingkan dengan moderator debat pada 2016. Chris Wallace sendiri mengaku kurang puas atas jalannya debat.

Penyelenggara debat calon presiden AS berjanji untuk mengubah aturan guna mengekang perilaku yang tidak diinginkan setelah Presiden Donald Trump berulang kali mengganggu saingannya Joe Biden dan moderator dalam debat perdana Selasa 29 September lalu.

Mengutip laman Channel News Asia, Kamis (1/10/2020), Biden menyarankan adanya tombol mute yang diharapkan bisa membantu.

Komisi debat mengatakan akan mengadopsi perubahan untuk memungkinkan "diskusi yang lebih tertib", dengan debat berikutnya dijadwalkan pada 15 Oktober di Miami. Ada spekulasi langsung bahwa ini mungkin termasuk penyediaan tombol mute untuk membatasi interupsi.

Kampanye Trump menuduh organisasi tersebut "memindahkan tiang gawang dan mengubah aturan di tengah permainan".

Trump juga mengkritik moderator debat, pembawa berita Fox News Chris Wallace, yang menghabiskan sebagian besar debatnya untuk mencoba memulihkan ketertiban. Di sisi lain, Trump mengeluh Komisi Debat Presiden berpihak pada Demokrat dalam debat yang diselenggarakan di Cleveland tersebut. 

Debat selama 90 menit itu memicu kritik luas terhadap Trump dan, pada tingkat yang lebih rendah, Biden. 

Presiden Republik berulang kali menindas Biden dan mempertanyakan kecerdasannya, sementara calon dari Partai Demokrat menyebut Trump sebagai orang yang rasis, pembohong, dan presiden terburuk yang pernah ada.

3 dari 4 halaman

Prediksi Pemenang Pilpres AS

Dalam debat pertama, Donald Trump mengisyaratkan dirinyalah yang harus menang. Sama seperti Pilpres 2016, ia menyampaikan sinyal bahwa hanya akan menerima hasil pilpres jika ia yang menang.

Jika pemilihannya adil, Trump 100 persen setuju. Tapi jika melihat ada puluhan ribu surat suara yang dimanipulasi, ia tidak bisa setuju.

Menanggapi pernyataan Trump, Ketua Indonesian Institute of Advanced International Studies (INADIS) Suzie Sudarman menyatakan perlunya peninjauan aturan-aturan pemilu di setiap negara-negara bagian. Ia menyebut, dari 2016 sampai 2018 ada 17 juta warga kulit hitam yang dikeluarkan dari daftar calon pemilih.

"Jadi, medannya itu yang harus ditelaah dan suara-suara propaganda buruk yang disampaikan oleh Donald Trump hanya untuk menyelubungi apa yang dilakukan negara bagian yang ada koneksinya dengan pemerintahan Republik. Pasalnya pemerintahan Republik ini begitu putus asa dan begitu ingin berkuasa, karena pada kenyataannya, rakyat Amerika Serikat telah dipimpin oleh partai Demokrat itu lama sekali," ujar Suzie kepada Liputan6.com.

"Dari tahun 1933 sampai 1995, ada 58 tahun dari 62 tahun di mana Demokrat menguasai kongres. Juga presiden Demokrat berkuasa tiga per empat persen dari 1933 sampai 1969. Jadi kestabilan Amerika Serikat datangnya dari partai mayoritas yang dipegang oleh partai Demokrat. Bisa dibayangkan, jika Republik ingin menang maka ia harus berbuat curang."

"Karena medannya dikunci oleh pemerintahan sebelumnya. Jadi mereka (Republik) mencoba mendobrak ini dengan menyebut pemilu ini tidak sah dan sebagainya. Itu modus mereka dan mereka menggunakan digital campaining pada tahun 2016 dimana orang kulit hitam itu disisihkan dan yang ditargetkan mereka itu jumlahnya 3,5 juta dan ditanyangkan video-video yang sudah dimanipulasi tentang Hillary Clinton membenci orang kulit berwarna."

Suzie menganggap, sebetulnya bukan debat yang penting atau isu apa pada debat itu, tetapi perbuatan real yang telah dilakukan melalui media sosial maupun melalui regulasi-regulasi tiap negara bagian yang kadang-kadang luput dari pengamatan orang yang sedang bersaing.

Ia mengatakan, sekalipun ada regulasi yang membatasi pemilihnya, mereka masih mengharapkan adanya gelombang tinggi untuk memilih partai Demokrat saat ini. Karena ia menganggap banyak orang kurang nyaman dalam sebuah pemerintahan yang tidak perduli pada orang kekurangan.

"Jadi, harapan itu apakah wujud dalam artian orang-orang itu akan keluar dan memilih, ataukah sebetulnya mereka sudah kecewa merasa pesimis dan tidak melakukan voting saat pemilu. Jadi ini pilihannya yang tidak bisa diprediksi," kata Suzie.

"Jika pemilih partai Demokrat tidak muncul maka tidak bisa menang. Namun partai Republik sudah jelas dengan propaganda jahatnya. Biasanya orang jahat itu jauh lebih gesit dibanding orang yang berbuat baik."

"Orang yang berbuat baik itu kalau di masyarakat kapitalis selalu artinya harga. Kalau mau baik cost-nya tinggi. Jika orang kanan, kerjanya hanya memangkas APBN-nya. Memangkas karena APBN-nya itu terlalu banyak untuk orang miskin. Jadi orang yang jahat itu jauh lebih gesit untuk meniadakan orang miskin ini."

Suzie pun menyebut Donald Trump sebagai perundung Joe Biden. "Saya menyebutnya perundung (Trump) sebab ia suka mem-bully. Itu jelas melanggar tradisi."

"Masyarakat AS ini adalah masyarakat yang konservatif. Mereka terbiasa dengan alur-alur yang ekspektasinya sudah jelas. Jadi ada prediktibilitas. Kalau prediktibilitas untuk mereka ini sudah artinya konvensi dari perdebatan itu harus nyaman dan mematuhi aturan, tentu Donald Trump ini telah melanggar."

"Trump telah membuyarkan citra demokrasi AS yang dianggap baik. Itu beban. Saya kasih contoh, saat presiden Bill Clinton dianggap mencederai model kepresiden yang sudah lazim masuk ke sanubari hati rakyat Amerika Serikat."

Suzie mengatakan bahwa Presiden AS itu dikenal sebagai seseorang harusnya unggul dan terhormat. Sementara Clinton, melakukan prilaku seks yang aneh selama menjabat dan secara moral itu menodai presidensi yang menjadi idaman rakyat Amerika Serikat secara menyeluruh.

"Itu adalah pelanggaran yang amat besar. Jadi pelanggaran-pelanggaran tradisi ini membuat kemungkinan Donald Trump itu tidak bisa diterima lagi," kata Suzie.

"Sebab terbukti, selama empat tahun berkuasa ia tidak terlalu excellent. Performanya kurang baik. Jadi ukurannya adalah ia sudah melakukan apa saja sejak empat tahun. Jika sebelumnya ia kan novel, baru dan menyebut pasti akan membawa perubahan. Sekarang sudah tahu ada patokan kerja Trump seperti apa."

 

 

4 dari 4 halaman

4 Debat Panas Joe Biden Vs Donald Trump

Debat Calon Presiden AS perdana yang digelar pada Selasa 29 September 2020 waktu setempat menjadi pertarungan sengit pertama antara Joe Biden dan Donald Trump sejak dimulainya kampanye.

Dalam rekaman video yang beredar, Donald Trump kerap menyela pernyataan Joe Biden di hampir setiap pertanyaan. Mantan wakil presiden AS itu bahkan terlihat kesal dan menyebut Pemimpin Negeri Paman Sam saat ini sebagai "badut" dan menyuruhnya untuk "tutup mulut."

Sejumlah analis menyebut Donald Trump menguasai debat perdana itu, kendati demikian mereka tak menjamin hal itu akan membawanya unggul atau bahkan memenangkan kursi presiden periode kedua.

Berikut ini empat momen utama yang jadi sorotan dalam debat capres AS 2020 perdana yang memanas, dikutip dari CNN, Rabu (30/9/2020):

1. Donald Trump Bahas Laporan New York Times Tentang Pajaknya

Presiden menawarkan pembelaan sederhana untuk jumlah rendah pajak penghasilan yang dia bayarkan selama bertahun-tahun: "Saya tidak ingin membayar pajak."

Namun, pada saat yang sama, Trump juga bersikeras bahwa dia membayar pajak jutaan, bertentangan dengan pelaporan New York Times, yang mengindikasikan bahwa dia membayar $ 750 dalam pajak penghasilan pada tahun 2016 dan 2017.

2. Realitas Berbeda Tentang Penanganan Virus Corona COVID-19 di AS

Joe Biden, mengutip jumlah kematian dan jumlah kasus Virus Corona COVID-19 yang mengejutkan di AS, berkata, “Presiden tidak punya rencana. Dia belum mengatur apapun. "

Trump, bagaimanapun, bersikeras bahwa Biden "tidak dapat melakukan pekerjaan yang kami lakukan."

Presiden juga mengemukakan rencana pemerintahannya untuk segera mendistribusikan vaksin Virus Corona COVID-19, tetapi Biden mempertanyakan mengapa orang Amerika harus memercayai seseorang yang begitu sering berbohong.

"Ini adalah orang yang sama yang memberitahumu sebelum Paskah bahwa ini akan pergi. Dengan cuaca hangat, itu akan hilang - seperti keajaiban. Dan omong-omong, mungkin Anda bisa menyuntikkan sedikit pemutih ke lengan Anda,"kata Biden.

3. Tanggapan Joe Biden Soal Serangan Donald Trump ke Putranya, Hunter

Debat kian memanas saat menanggapi klaim Donald Trump yang berulang kali tidak berdasar dan salah tentang Hunter Biden yang bertindak korup di Ukraina.

Mantan wakil presiden AS Joe Biden berkata, "Ini bukan tentang keluarga saya atau keluarganya, ini tentang keluarga Anda - rakyat Amerika."

"Dia tidak ingin membicarakan apa yang Anda butuhkan," tambah Biden.

At another point in the debate, Trump raised the past issue of Hunter Biden, who was said to have been addicted to drugs.

"My son has a drug problem, but he overcame it and I am proud of him," Biden replied.

4. Donald Trump Tolak Kecam Supremasi Kulit Putih

Donald Trump menolak untuk secara eksplisit menyebut supremasi kulit putih menghasut kekerasan pada demonstrasi kebrutalan anti-polisi di seluruh negeri, mengatakan selama debat bahwa kekerasan bukanlah masalah yang disebabkan oleh hak dan mengatakan kepada satu kelompok sayap kanan untuk "mundur dan berdiri."

"Tentu, saya bersedia (memberi tahu mereka untuk mundur), tetapi saya akan mengatakan hampir semua yang saya lihat adalah dari sayap kiri, bukan dari sayap kanan. Saya bersedia melakukan apa saja. Saya ingin melihat perdamaian," kata Trump.

"Siapa yang Anda ingin saya kecam?" Trump bertanya kepada moderator Chris Wallace. "Proud Boys - mundur dan bersiaplah. Tapi aku akan memberitahumu apa. ... Seseorang harus melakukan sesuatu tentang Antifa dan sayap kiri karena ini bukan masalah sayap kanan.