Sukses

The Economist Kritik Omnibus Law, Anggap Jokowi Seperti Suharto

The Economist menyorot cela di Omnibus Law yang dibuat pemerintah Presiden Jokowi.

Liputan6.com, Jakarta - Media Inggris The Economist mengkritik Omnibus Law dan sikap Presiden Jokowi. Omnibus Law dinilai memiliki banyak kekurangan, sementara Jokowi tidak seperti yang dibayangkan penggemarnya dulu.

Dalam sebuah artikel yang terbit pada 15 Oktober 2020, The Economist bahkan menyamakan Jokowi dengan Suharto dalam hal pembangunan.

Pada paragraf awal, The Economist membandingkan Jokowi yang dulu dan sekarang. Dulu, Jokowi dinilai sebagai "man of the people", kini Jokowi dikelilingi elite politik dan bisnis di ibu kota.

"(Jokowi) yang sekarang baru saja mengurangi perlindungan untuk pekerja, dan pekan ini mengirim polisi untuk memukul mundur pemimpin-pemimpin yang turun ke jalan untuk protes," tulis The Economist seperti dikutip Minggu (18/10/2020).

The Economist mengakui bahwa Omnibus Law adalah upaya yang masuk akal untuk memudahkan bisnis dan mempromosikan investasi. Namun, The Economist menyorot pengesahan Omnibus Law di tengah pandemi COVID-19.

Faktor lain yang disorot adalah pengurangan otonomi daerah, izin lingkungan, dan Omnibus Law menguntungkan industri pertambangan, serta memudahkan perusahaan logging untuk mengambil untung dari hutan.

Keluhan buruh dan sulitnya teks final Omnibus Law juga dipertanyakan media asing tersebut.

"Pemerintah berkata perserikatan sudah diajak berkonsultasi, mereka membantahnya. Teks finalnya, diloloskan oleh parlemen pada 5 Oktober dan berada di meja presiden untuk ditandatangani, masih belum diterbitkan untuk publik," tulis The Economist.

The Economist mencatat sepak terjang pemerintahan Jokowi tahun ini, mulai dari mengurangi independensi KPK hingga menggunakan kepolisian untuk membungkam pengkritik. Jokowi juga dianggap kurang maksimal memperhatikan hak perempuan, minoritas, dan kebebasan sipil.

"Jokowi mungkin tidak pernah menjadi demokrat transformasional yang dibayangkan penggemarnya dulu. Seperti Suharto, pembangunan merupakan hal yang penting," tulis The Economist.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 3 halaman

Kepala BKPM: Di UU Omnibus Law, Perusahaan Besar Tak Taat Amdal Bisa Ditutup

Sementara itu, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadiala mengatakan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) menjadi syarat bagi perusahaan besar untuk melanjutkan aktivitas produksinya.

Bila perusahaan besar tidak memiliki Amdal atau melanggarnya dikemudian hari, maka pemerintah berhak mencabut izin usahanya. 

Menurut Bahlil, aturan itu sangat revolusioner dalam Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja dalam mementingkan aspek lingkungan. Sebab, pada Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH),  pemerintah tidak punya hak untuk mencabut izin usaha yang melanggar Amdal di kemudian hari.

"Tidak ada risiko hukum secara kuat yang menyatakan Amdal, katakanlah usahanya ditutup. Belum ada (preseden) itu, yang ada diperbaiki terus. Maka dengan UU ini, Amdal dimasukkan sebagai izin usaha. Supaya kalau orang melanggar Amdal kita bisa peringatkan izinnya kami cabut," kata Bahlil, Kamis, 15 Oktober 2020. 

Bahlil menerangkan, Amdal pada Undang-undang yang lama tidak termasuk dalam izin usaha. Pada Undang-undang Omnibus Law, lanjut dia, Amdal merupakan hal yang wajib dilampirkan ketika perusahaan besar mengajukan izin usaha. Keduanya saling melekat dan tidak terpisahkan.

Menurutnya, ada tiga klasifikasi usaha yang diatur dalam Undang-undang Omnibus Law, yaitu perusahaan kecil, menengah dan besar.

Apabila perusahaan kecil, maka cukup mengajukan surat pernyataan. Sedangkan perusahaan menengah terdapat Upaya Pengelolaan Lingkungan-Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL-UPL). Sementara perusahaan besar harus mengajukan Amdal saat pertama kali mengajukan permohonan izin.

3 dari 3 halaman

Infografis Omnibus Law