Liputan6.com, London - Utang di berbagai negara dunia makin bengkak akibat pandemi COVID-19. Kondisi ini turut menerpa negara maju seperti Inggris.
Berdasarkan data terbaru Office of National Statistics (ONS), utang di Inggris sudah berada di angka 2,05 triliun poundsterling. Jumlah itu nyaris menyentuh Rp 40 ribu triliun.
Advertisement
Baca Juga
Data itu berdasarkan perhitungan akhir September 2020. Rasio utang Inggris dari perekonomian negaranya sudah tembus 100 persen.
"Itu sama dengan 103,5 persen dari produk domestik bruto (PDB)," tulis ONS dalam situs resminya, Rabu (21/10/20200.
Komponen terbesar dari utang Inggris adalah gilt, atau surat utang yang diterbitkan Kementerian Keuangan. Hingga September, total gilt mencapai 1,74 triliun pound sterling.
Penambahan gilt bertambah dari bulan ke bulan pada tahun ini akibat pandemi. Utang itu juga dipengaruhi pemerintah yang butuh pendanaan tambahan untuk bantuan di era pandemi.
"Secara parsial itu mencerminkan butuhnya pendanaan tambahan untuk mendukung skema bantuan Virus Corona pemerintah dan untuk mengkompensasi turunnya pungutan pajak," tulis ONS.
(1 pound sterling = Rp 19.127)
Â
Â
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Utang Amerika Serikat Juga Naik
Utang di Amerika Serikat ternyata membengkak di era pandemi. Berdasarkan data situs Kementerian Keuangan AS, utang negara itu sudah tembus US$ 27 triliun.
Analis dari Congressional Budget Office menyebut rasio utang AS akan membengkak hingga 98 persen GDP dan tahun depan tembus 100 persen.
"Proyeksi defisit anggaran akan mendorong utang federal menjadi 104 persen dari GDP di 2021, menuju 107 persen GDP (tertinggi dalam sejarah negeri) di 2023, dan 195 persen dari GDP pada 2050," tulis CBO di situs resminya.Â
CNN Business melaporkan bahwa bengkaknya anggaran dan utang AS dipengaruhi pandemi COVID-19. Pada awal pandemi, AS menggelontorkan US$ 4 triliun untuk stimulus ekonomi.Â
Menurut Committee for a Responsible Federal Budget (CFBG), terakhir kali utang AS lebih tinggi dari GDP adalah saat perang dunia 2. Namun, utang ternyata dinilai masih perlu.
"Satu-satunya saat ketika utang melebihi ukuran ekonomi adalah pada akhir Perang Dunia II, dan setelahnya kita menjalani tahun-tahun dengan anggaran seimbang untuk kembali menurunkan (rasio utang)," ujar presiden CFBG Maya MacGuineas.
"Kita seharusnya sekarang meminjam, tetapi ketika ekonomi pulih, utang kita tidak boleh terus tumbuh lebih cepat ketimbang ekonomi," lanjutnya.
Advertisement
Bank Dunia Catat Utang Indonesia Rp 5.889 Triliun, Begini Respons Sri Mulyani
Bank Dunia lewat rilis International Debt Statistics pada 12 Oktober 2020 melaporkan, Indonesia masuk dalam daftar 10 negara dengan Utang Luar Negeri (ULN) terbesar di antara negara berpendapatan menengah dan rendah. Indonesia menempati urutan ke-7 dengan jumlah ULN mencapai USD 402 miliar, atau sekitar Rp 5.889 triliun (kurs Rp 14.650 per dolar Amerika Serikat).
Nominal tersebut tercatat lebih kecil dibandingkan laporan Bank Indonesia (BI) pada Agustus 2020, dimana ULN Indonesia mencapai USD 413,4 miliar.Â
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, bukan hanya Indonesia yang saat ini memiliki utang luar negeri dengan nilai bombastis seperti itu. Kenaikan utang di beberapa negara lain bahkan disebutnya hingga di atas 100 persen dari PDB.
Menurut dia, pemerintah telah menghitung secara hati-hati dan transparan setiap aliran dana yang mengalir, termasuk utang.
"Selama ini kita bisa mendapatkan akses dari market secara reasonable. Ini juga karena Indonesia memiliki track record pengelolaan APBN yang selalu kita sampaikan ke seluruh stakeholder dalam negeri maupun investor dunia," jelasnya dalam siaran virtual, Senin 19 Oktober 2020.
Sri Mulyani menjelaskan, tren kenaikan utang secara global saat ini terjadi lantaran banyak negara memperlebar defisit anggaran mereka. Itu tidak bisa dihindari karena mayoritas negara harus memberikan stimulus fiskal guna menopang pelemahan ekonomi.
Untuk itu, rasio utang Indonesia pada 2020 ini diprediksi mencapai 38,5 persen terhadap PDB. Sementara rasio utang di 2021 dipatok tembus hingga 41,8 persen, namun defisit diturunkan menjadi -5,5 persen.
Namun, Sri Mulyani tidak terlalu mempermasalahkan angka rasio utang tersebut, sebab ia telah melihat adanya pemulihan ekonomi pada akhir tahun ini. Dia justru berpendapat, rasio utang rendah berpotensi memberatkan negara jika pemerintahnya tidak bisa mengelola utang tersebut.
"Indonesia sendiri dengan proyeksi defisit anggaran 6,34 persen dan rasio utang 38 persen (2020), kami sudah lihat potensi pemulihan ekonomi. Kami sudah lakukan konsolidasi fiskal dengan hati-hati dan penuh kalkulasi agar ekonomi bisa membaik," tuturnya.