Sukses

Imbas Banjir Kritik Anti-Pemerintah, Kepulauan Solomon Bakal Larang Facebook

Kepulauan Solomon saat ini bersiap menjadi satu-satunya negara demokratis yang melarang Facebook untuk waktu tidak terbatas.

Honiara - Akibat gelombang kritik antipemerintah, Kepulauan Solomon memutuskan akan melarang Facebook.

Langkah ini merupakan plot teranyar dalam kisruh politik ihwal pengaruh China yang mengancam keutuhan negeri kepulauan tersebut.

Mengutip DW Indonesia, Rabu (18/11/2020), Kepulauan Solomon saat ini bersiap menjadi satu-satunya negara demokratis yang melarang Facebook untuk waktu tidak terbatas. Pemerintahnya dikabarkan sedang menyiapkan kerangka hukum menyusul rapat kabinet di Ibu Kota Honiara, Selasa 17 November. 

Jika terwujud, Kepulauan Solomon bergabung dengan China, Iran dan Korea Utara yang sebelumnya sudah melarang platform media sosial asal AS tersebut. 

Menteri Komunikasi Peter Shanel Agovaka yang termasuk paling aktif mengkampanyekan larangan Facebook membenarkan keputusan tersebut kepada harian Solomon Times. Dia mengaku sejumlah anggota kabinet mengkhawatirkan minimnya legislasi untuk "mengatur penggunaan internet."

"Perkataan kasar terhadap para menteri, perdana menteri, pembunuhan karakter, defamasi karakter, semua ini adalah sumber kekhawatiran," kata dia. "Penggunaan internet di Kep. Solomon harus diregulasi untuk melindungi kaum muda dari konten berbahaya."

Dia mengatakan media-media nasional akan beroperasi secara normal, meski tanpa akses terhadap Facebook. Seorang juru bicara Facebook mengatakan larangan tersebut "berdampak pada ribuan warga Kepulauan Solomon," dan berniat akan menemui pemerintah di Honiara. 

Facebook tergolong populer di Kepulauan Solomon, dengan 77.800 pengguna hingga April 2019 silam. Jumlah tersebut mencakup 11,8% dari total populasi yang berkisar 650.000 jiwa. Pemerintah sebenarnya juga menggunakan Facebook untuk sosialisasi kebijakan atau menyebar informasi kesehatan terkait pandemi. 

Namun belakangan kanal media sosial tersebut menjadi wadah kritik dan protes terhadap distribusi dana bantuan COVID-19, dan dampak dari keputusan pemerintah mengadopsi politik 'Satu China' dan pergeseran hubungan diplomasi dari Taiwan ke Beijing. 

Saksikan Juga Video Ini:

2 dari 3 halaman

Kritik Terhadap Pengaruh China

Perubahan sikap Perdana Menteri Manasseh Sogavare terkait China diyakini digerakkan oleh kebutuhan ekonomi. Media AS, CNN, melaporkan, Kep. Solomon sampai mempertimbangkan untuk menyewakan pulau kepada China, dan menawarkan kewarganegaraan bagi investor asal negeri tirai bambu tersebut. 

Langkah Sogavare membawanya ke dalam perseteruan sengit dengan Daniel Suidani, Perdana Menteri untuk Provinsi Malaita yang berpenduduk paling padat di Kep. Solomon. Belum lama ini dia mengajukan referendum kemerdekaan bagi pulaunya.

 

3 dari 3 halaman

Pelanggaran HAM

Tidak heran jika langkah pemerintah melarang Facebook mengundang kritik pemimpin oposisi, Matthew Wale.

"Politisi selalu khawatir jika rakyat mendapat akses informasi dan bisa mengekspresikan pandangannnya secara bebas. Tapi hal ini tidak bisa dijadikan alasan untuk mengusulkan larangan," katanya kepada Reuters. 

"Saya sama sekali tidak melihat adanya satu pun pembenaran untuk larangan semacam itu."

Hal senada dilayangkan organisasi HAM, Amnesty International. Menurut lembaga yang bermarkas di Inggris itu, larangan terhadap media sosial “hanya karena pemerintah tidak menyukai konten komentar para pengguna adalah pelanggaran jelas terhadap hak asasi manusia.” 

"Melindungi perasaan sensitif pejabat pemerintah bukan alasan yang bisa dibenarkan untuk membatasi kebebasan berekspresi, yang juga tercantum dalam konstitusi Kepulauan Solomon."

Saat ini larangan itu belum dijalankan. Menteri Komunikas Agovaka mengatakan pihaknya “sedang berdiskusi dengan operator untuk mencari cara mengimplementasikannya.” 

Kep. Solomon bukan negara kepulauan Pasifik pertama yang melarang Facebook. Pada awal 2018 silam Papua Nugini melarang platform buatan Mark Zuckerberg itu selama satu bulan. Adapun pemerintah Nauru melarang Facebook selama tiga tahun antara 2015-2018, menyusul badai kritik seputar perlakuan semena-mena pemerintah terhadap pengungsi dan pencari suaka.