Sukses

Palestina Kian Merana, Negara Arab Diminta Hentikan Normalisasi Hubungan dengan Israel

Dengan banyaknya negara Arab yang meresmikan hubungan dengan Israel, hal tersebut pun menuai kecaman dari orang-orang Palestina.

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah negara telah melakukan normalisasi hubungan dengan Israel. Sebut saja Uni Emirat Arab, Bahrain, Yordania, hingga Sudan.

Dengan banyaknya negara Arab yang meresmikan hubungan dengan Israel, hal tersebut menuai kecaman dari Palestina, yang melihatnya sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan mereka.

Secara historis, negara-negara Arab mengondisikan pembicaraan damai dengan Israel tentang penarikannya dari wilayah yang diduduki dalam perang pada 1967 dan pembentukan negara Palestina dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.

Dalam Webinar bertema "The Palestinian Cause and Ways to Support It in Light of the Regional and International Developments", Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Fadli Zon menyatakan, agenda normalisasi hubungan dengan Israel harus segara dihentikan.

"Normalisasi sejumlah negara dengan Israel harus dihentikan. Pemberian visa bagi Israel juga demikian. Pengusiran warga Palestina dan ancaman terus dilakukan oleh Israel di lapangan. Pelanggaran dilakukan selama 7 dekade terakhir. Dibutuhkan langkah besar untuk menentang keras kepala Israel," ujar Fadli Zon, Senin (30/11/2020).

Menurut Fadli Zon juga, memberi tekanan pada Israel di setiap sarana harus dilanjutkan.

"Sebagian besar bangsa dunia berdiri bersama Palestina. Kita harus menyatukan semuanya. Tiap kesempatan dan forum kita mesti memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Meningkatkan hubungan bilateral pada Palestina. Bisa dilakukan lewat pemerintahan, akademisi, LSM atau lapisan masyarakat," jelasnya.

Dalam acara yang diselenggarakan oleh BKSAP DPR RI bekerja sama dengan Parliamentarians for Al-Quds, hadir pula Ahmad Bahar selaku Ketua Dewan Legislatif Palestina. Bahar menyebutkan, Jerusalem saat ini merupakan korban konspirasi dalam beberapa abad terkahir karena mengalami distorsi dari segi politik dan sosial.

"Tempat ibadah dihancurkan, kuburan sahabat Rasulullah dihancurkan dan itu dihadapi oleh warga Palestina tiap hari. Mereka tak bisa mendapatkan keamanan, ada penindasan serta ketidakadilan," ujar Bahar.

"Kita tidak dapat berdiam diri lagi. Banyak dari warga negara Palestina yang mengungsi. Ada tujuh ribu warga Palestina yang tak bsia kembali," jelasnya.

Ahmad Bahar melihat ada banyak kesepakatan yang semula disetujui oleh Israel. Namun, kesepakatan itu selama ini bahkan dilanggar dan malah menghilangkan hak warga Palestina selama tujuh dekade.

"Otoritas dgn membuat perumahan ilegal serta memperluas wilayah kekuasaan mereka. Saya ingin ingatkan dunia bahwa ada lima ribu tawanan perang Palestina di penjara di Israel. Ada wanita, anak-anak, anggota parlemen yang merasakan jeruji besi dan mereka tidak mendapatkan hak kesehatan selama di penjara."

Saksikan Video Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Joe Biden Tak Akan Berbuat Apa-Apa?

Bagi Ahmad Bahar, Joe Biden tidak ada beda dengan Donald Trump. Dua orang ini dianggapnya selalu mendukung Israel dari segi ekonomi dan politik.

"Kami akan jadi korban dan kami akan tidak akan mmpu bela diri. Karena kami tak miliki akses pada fasilitas dan kami hidup di bawah garis kemiskinan," ujarnya.

"Dulu kami berharap pada negara Arab dan kini kami sangat terkejut dengan apa yang terjadi. Banyak dari pemimpin negara Arab yang mengabaikan kesatuan islam," jelasnya.

Sejumlah panelis juga dihadirkan dalam diskusi ini. Di antaranya Syed Ibrahim Noh yang merupakan member dari parlemen Malaysia.

Ia menyebutkan bahwa dunia harus melihat pelanggaran yang dilakukan oleh Israel. Serta sejumlah langkah yang dianggap telah menciderai dan menghianati warga Palestina.

"Israel telah melanggar kesepakatan dunia. Ada perusakan rumah besar-besaran. Menghancurkan sejumlah desa juga demikian," ujar Syed Ibrahim Noh.

"Perpindahan lokasi Kedutaan Besar Amerika Serikat juga merupakan bentuk tekanan politik pada Palestina," ujarnya.