Liputan6.com, Jakarta - Belum lama ini, Sidang Majelis Umum (SMU)Â PBB mengesahkan secara konsensus resolusi tentang kerja sama antar negara dalam upaya perlindungan pelaut (Seafarers) di tengah pandemi Corona COVID-19.
Hal yang membuat bangga yaitu resolusi ini digagas oleh Indonesia dan disponsori oleh 71 negara anggota PBB.
Ini juga merupakan resolusi SMU PBB pertama terkait pelaut dan pengelolaan arus barang secara global. Resolusi ini merupakan terobosan penting mengingat isu pelaut menjadi perhatian semua pihak khususnya di tengah masa pandemi COVID-19.
Advertisement
Baca Juga
Resolusi antara lain meminta negara-negara untuk menetapkan pelaut sebagai "key workers" atau pekerja sektor penting, melaksanakan ketentuan tentang keselamatan pelaut termasuk pergantian awak kapal, dan mendorong kerja sama semua pihak untuk memfasilitasi perjalanan, repatriasi serta akses layanan kesehatan bagi pelaut.
Menurut Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi, resolusi ini merupakan bukti nyata kiprah Indonesia sebagai negara maritim dan kepulauan terbesar dalam mendorong kerja sama untuk melindungi pelaut terutama dari dampak pandemi COVID-19.
Menurut data tahun 2018 dari Global Slavery, pelaut di Asia Tenggara masuk dalam risiko perbudakan di laut dalam industri perikanan.
Data tersebut menunjukkan, Thailand menjadi satu-satunya negara di ASEAN yang masuk dalam kategori High Risk. Sementara Indonesia, Malaysia, Filipina dan Vietnam, berada dalam katergori Medium Risk.
Lalu, apa penyebab hal ini bisa terjadi? Bagaimana pula solusi penyelesaian dan upaya pemerintah Indonesia?
Dalam LIVE Webinar bertajuk Ending Modern Slavery at Sea: What is ASEAN's Role?, Greenpeace Southeast Asia yang merupakan organisasi kampanye lingkungan membahas tentang bagaimana ASEAN dapat memainkan peran penting tentang upaya menangani masalah hak asasi manusia di industri perikanan.
Menurut Tashryn Mohd Shahrin yang merupakan peneliti dari ASEAN Human Rights Policy Researcher for Greenpeace Southeast Asia, Asia merupakan rumah bagi 68 persen kapal penangkap ikan aktif dunia.
"34 Tuduhan pelanggaran hak asasi manusia dan perburuhan di kapal penangkap ikan sebagian besar milik China. Laporan indeks IUU Fishing 2019 mengklaim bahwa China menempati peringkat negara dengan kinerja terburuk dari 152 negara," ujar Tashryn.
Dalam pemaparannya, ia juga menyampaikan bahwa tantangan yang disampaikan ACMW dan AICHR bahwa pelaut migran dan pemerintah masih melihat kekerasan yang terjadi di kapal sebagai kejahatan biasa, bukan pelanggaran hak asasi manusia.
Saksikan Video Berikut Ini:
Upaya Diplomasi Indonesia
Dalam webinar tersebut, Direktur Pelindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia, Judha Nugraha menyampaikan bahwa sejauh ini pemerintah Indonesia terus berupaya mengatasi permasalah tersebut.
"Kami dari Kemlu RI dan juga Indonesian Mission seluruh dunia menangani lebih dari 1 juta kasus imigran, jadi ini sangat penting untuk dibahas," ujar Judha Nugraha.
Selama tahun 2020, ada 673 kasus yang ditangani Kemlu terkait fishing vessels di 114 kapal laut. Kebanyakan mereka bekerja di beberapa banyak negara, terutama 16 negara.
"Kasus yang banyak ditangani oleh Kemlu adalah tidak dibayarnya gaji, masalah aturan waktu kerja, kekerasan fisik, buruk kondisi di lokasi kerja," jelas Judha.
Sejauh ini, ada sejumlah langkah diplomasi yang dilakukan oleh Kemlu dalam upaya perlindungan WNI termasuk pekerja di lautan.
Upaya diplomasi itu disebutkan oleh Judha Nugraha lewat level multilateral, regional dan bilateral.
"Kita punya contoh kasus di kapal berbendera Tiongkok Long Xing 629. Kita membangun establish coorporation, antara dua Menlu melakukan pertemuan di high level untuk kasus ini dan saya bisa sampaikan bilateral coordinations menghasilkan hasil baik," jelas Judha.
Advertisement