Liputan6.com, Jakarta - Di tengah pandemi COVID-19, para tenaga kesehatan tidak mendapat gelar Person of the Year dari Time. Tahun ini, para pahlawan kesehatan mendapat gelar Guardians of the Year, bersama Dr. Anthony Fauci.
Mereka dianggap berjasa selama pandemi COVID-19 atas rasa kemanusiaan mereka dengan mempertaruhkan nyawa setiap hari untuk menolong orang asing yang datang ke tempat mereka bekerja selama pandemi.
Advertisement
Baca Juga
"Di garis depan melawan COVID-19, petugas kesehatan dunia menunjukan yang terbaik dari kemanusiaan - rela berkorban, rasa kasih, stamina, keberanian - ketika melindungi sebanyak yang mereka bisa," tulis Time, Jumat (11/12/2020).
"Lewat teladan mereka, petugas kesehatan pada tahun ini melindungi lebih daripada nyawa."
Dr. Anthony Fauci mendapat sorotan utama. Ia adalah direktur Intitut Alergi dan Penyakit Menular Nasional AS, serta dipilih pemerintahan Donald Trump di gugus tugas COVID-19.
Usaha Fauci melawaan COVID-19 tidak mulus, apalagi Presiden Donald Trump sering abai dengan protokol kesehatan. Time memuji Fauci karena tegas berpihak pada kesehatan masyarakat.
Dr. Anthony Fauci is TIME's 2020 Guardian of the Year #TIMEPOY https://t.co/4rkVwyhYCO pic.twitter.com/V0bxaRjO9b
— TIME (@TIME) December 11, 2020
"Di Washington, Dr. Anthony Fauci tidak hanya memimpin pertermpuran melawan COVID-19 tetapi pertempuran demi kebenaran- pesan yang jelas serta konsisten adalah hal yang fundamental untuk kesehatan masyarakat," tulis Time.
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Di Garis Depan Melawan Pandemi COVID-19
Time turut menuliskan beberapa petugas kesehatan untuk Guardians of the Year 2020.
Salah satunya adalah dokter Rebecca Martin, serang pulmonologis dari Arkansas. Ia sempat terbang ke New York untuk membantu rumah sakit yang kewalahan akibat COVID-19.
"Saya tidak pernah praktek di luar Arkansas," ujarnya. "Waktu itu menakutkan. Ada banyak yang saat itu tidak kita ketahui tentang COVID-19."
Rebecca sudah kembali ke Arkansas dan melanjutkan melawan COVID-19. Dalam sehari ia bisa bekerja antara 12-14 jam.
"Kami akan merawat masyarakat kami," tegasnya.
Dokter lain di New York bernama Alan Roth berkata bahwa kematian meningkat tahun ini. Dokter berusia 60 tahun itu mengakui bahwa ia sangat kelelahan baik fisik dan mental.
"Saya melihat lebih banyak orang meninggal tahun ini ketimbang yang mungkin saya lihat dalam 10 atau 15 tahun terakhir di karier saya," ujarnya.
Advertisement
Dokter dan Masalah Ekonomi
Pandemi COVID-19 turut menyerang negara-negara berpenghasilan menengah dan rendah. Di India, ada cerita petugas kesehatan yang kesulitan karena tantangan ekonomi dan kecilnya insentif dari pemerintah.
Ini dialami oleh Archana Ghugare, seorang petugas kesehatan masyarakat dari Maharastra, India. Ia bekerja 12 jam sehari dengan insentif yang relatif kecil.
Wanita 41 tahun itu merupakan bagian dari Accredited Social Health Activists (ASHAs) yang beranggotakan sejuta perempuan.
Pemerintah India hanya memberi bonus bulanan 1.000 rupee (Rp 191 ribu). Itu cukup untuk belanja keluarga Ghugare selama dua minggu saja. Kondisi dipersulit karena suaminya juga kehilangan pekerjaan.
"Kami diberitahu bahwa kita mendapat respek dari jutaan orang di seluruh negeri karena pekerjaan kita," ucapnya. "Tetapi respek tidak akan mengisi perut kita."
Pada Oktober 2020, kondisi di India membaik karena jumlah kasus mulai menurun. Ia pun bisa bekerja sambilan di tempat lain. Namun, kasus yang mulai melonjak lagi membuat personel ASHAs harus stand-by atas permintaan pemerintah.
India merupakan negara dengan kasus COVID-19 terbanyak di Asia. Berdasarkan data Johns Hopkins University, total kasus di India mencapai 9,7 juta.
Infografis COVID-19:
Advertisement