Sukses

Fatwa Majelis Ulama Singapura: Vaksin COVID-19 Halal

Majelis ulama Singapura menyatakan vaksin COVID-19 halal karena diperlukan demi menyelamatkan nyawa. Isu vaksin diminta agar jangan dilihat secara sempit.

Liputan6.com, Singapura - Penggunaan vaksin COVID-19 dinyatakan halal oleh ulama Singapura. Dasar fatwa halal tersebut adalah keperluan untuk melindungi nyawa.

Fatwa itu dikeluarkan oleh Majelis Agama Islam Singapura (MUIS) pada Minggu, 13 Desember 2020.

"Majelis Agama Islam Singapura memegang posisi bahwa vaksin COVID-19 diizinkan untuk digunakan (umat) Muslim," tulis MUIS dalam situs resminya yang Liputan6.com kutip Senin (14/12/2020).

"Kami ingin menyarankan dan mendorong agar umat Muslim divaksinasi begitu sudah tersedia dan saat vaksinnya sudah mendapat izin medis yang aman dan efektif, sebab ini adalah keperluan pokok untuk melindungi nyawa dalam konteks pandemi global," lanjut MUIS.

Menurut pandangan MUIS, hukum Islam mementingkan nyawa manusia, sehingga usaha melindungi nyawa melalui vaksin sangat didukung dalam Islam.

MUIS turut meminta agar jangan melihat vaksin COVID-19 dengan sudut pandang halal yang sempit, melainkan harus holistik.

"Pandangan religius terhadap vaksin COVID-19 harus mengambil pijakan holistik yang berada di atas masalah sempit tentang kehalalan atau diperbolehkannya dari komposisinya," tulis MUIS.

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 4 halaman

Tiga Pertimbangan

MUIS menyebut ada tiga aspek yang dipertimbangkan secara matang pada fatwa vaksin halal.

Pertama, vaksin disebut sebagai keperluan penting untuk menyelamatkan nyawa dan agar masyarakat bisa berfungsi dengan aman.

Kedua, aspek keamanan dan efikasi vaksin. MUIS meminta agar vaksin COVID-19 harus dinyatakan aman secara medis. Hal ini sesuai dengan prinsip menghindari bahaya dalam hukum Islam.

Ketiga, terkait kehalalan, MUIS menyatakan ada situasi ketika bahan-bahan yang dilarang (haram) dapat dijadikan obat. Ini pernah terjadi sebelumnya pada fatwa obat Heparin di 2015.

Heparin memiliki bahan berupa enzim babi.

MUIS menyebut ada proses kimia dalam pembuatan obat atau vaksin, sehingga bahan yang haram tidak lagi terdeteksi atau negligible (dapat diabaikan) pada produk final.

MUIS berkata proses itu mirip dengan konsep istihala dalam fiqih, yakni ketika bahan asli berubah bentuk dan sifat sehingga tidak lagi haram.

Selain itu, ada pula vaksin yang tak memakai komponen binatang, seperti vaksin COVID-19 yang menggunakan mRNA.

3 dari 4 halaman

WHO Akan Izinkan Pemakaian Vaksin COVID-19 Pfizer, Moderna, dan AstraZeneca

Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO berharap dapat memutuskan perihal izin penggunaan darurat vaksin COVID-19 buatan Pfizer, Moderna, dan AstraZeneca dalam beberapa pekan mendatang, menurut kepala ilmuwan pada Jumat 11 Desember 2020. 

Soumya Swaminathan mengatakan badan kesehatan global itu akan memutuskan nasib calon vaksin Pfizer dalam "beberapa pekan" ke depan. Selanjutnya, mereka juga akan meninjau calon vaksin produksi Moderna dan AstraZeneca, Reuters melaporkan, seperti dikutip dari Antara, Minggu 13 Desember 2020. 

Restu WHO akan memungkinkan pendistribusian sebuah vaksin di sejumlah negara, yang badan pengawas obat nasionalnya belum dapat melakukan evaluasi.

Menurut Swaminathan, sedikitnya 10 perusahaan telah menyatakan minat atau mengajukan permintaan izin penggunaan darurat untuk calon vaksin.

Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan hampir satu miliar dosis vaksin telah diamankan untuk program COVAX, guna dibagikan kepada-negara negara miskin dan menengah. Ada 189 negara yang berpartisipasi dalam program tersebut.

Namun, sejumlah pejabat WHO mencatat bahwa masih dibutuhkan waktu untuk memproduksi dosis vaksin COVID-19 yang mencukupi permintaan.

Menurut Swaminathan, pasokan vaksin COVID-19 sepertinya akan terbatas untuk paruh pertama 2021.

4 dari 4 halaman

Infografis COVID-19: