Liputan6.com, Jakarta - Dari ujung kaki hingga kepala, penampilan Ketua DPR Amerika Serikat Nancy Pelosi saat mengumumkan pemakzulan Presiden Donald Trump pada 13 Januari 2021, nyaris sama dengan apa yang ia kenakan sekitar 13 bulan lalu. Saat itu, pada Desember 2019, dalam upaya pemakzulan pertama Donald Trump, Pelosi juga mengenakan setelan serba hitam dengan kalung melingkar di leher.
Hal yang membedakan hanya dua. Minus hiasan bros, dan kini menggunakan masker lantaran pandemi COVID-19.
Baca Juga
Tampilan Pelosi di hari pemakzulan Donald Trump yang kedua kali dinilai banyak orang sebagai bentuk napak tilas. Penampilannya mencuri perhatian lantaran mengenakan setelan yang disebut sebagai "pakaian pemakaman" terbaiknya.
Advertisement
"Trump a clear and present danger," kata Pelosi dengan tegas saat itu -- yang berarti karena Trump, ancaman nyata ada di depan mata.
DPR Amerika Serikat memutuskan untuk memakzulkan Presiden Donald Trump, atas hasutan pemberontakan dalam kerusuhan yang terjadi di gedung Capitol Hill pekan lalu. Dikutip dari BBC, Jumat (15/1/2021), 10 anggota Partai Republik memihak Demokrat untuk memakzulkan Trump dengan hitungan suara 232-197.
Pemakzulan itu menjadikan Trump sebagai presiden pertama dalam sejarah AS, yang dimakzulkan sebanyak dua kali.
DPR yang saat ini dikendalikan Demokrat, melakukan pemungutan suara pada Rabu 13 Januari waktu setempat, setelah terjadi perdebatan sengit yang berlangsung selama beberapa jam ketika pasukan Garda Nasional bersenjata mengawasi di dalam dan di luar Capitol Hill.
Biro Investigasi Federal AS (FBI) juga telah memperingatkan kemungkinan adanya protes bersenjata yang direncanakan di Washington D.C, termasuk semua, 50 ibu kota negara bagian menjelang pelantikan Joe Biden sebagai presiden AS pada 20 Januari mendatang.
Beberapa waktu setelah pemungutan suara di Kongres, Trump menyampaikan dalam sebuah video yang dirilis Gedung Putih bahwa ia meminta para pendukungnya untuk tetap damai. Namun, Presiden AS ke-45 tersebut tidak menyinggung pemakzulannya.
"Kekerasan dan vandalisme tidak memiliki tempat di negara kita... Tidak ada pendukung saya yang akan mendukung kekerasan politik," kata Trump.
Menanggapi pidatonya pada 6 Januari di Washington, Kongres menuduh Donald Trump menghasut penyerbuan di gedung Capitol Hill.
Trump dianggap mendesak para pendukungnya untuk "secara damai dan patriotik" membuat suara mereka didengar, tetapi juga untuk "berjuang sekuat tenaga" melawan hasil pemilihan yang diklaim telah dicuri.
Menyusul pernyataan Trump, para pendukungnya mendatangi Capitol, memaksa anggota parlemen untuk menangguhkan sertifikasi hasil pemilu.
Dalam pasal pemakzulan, Trump dikatakan "berulang kali mengeluarkan pernyataan tidak benar yang menyatakan bahwa terjadi penipuan dalam hasil pilpres dan hasilnya tidak boleh diterima".
Pasal pemakzulan itu juga menyebutkan bahwa ia mengulangi klaim dan "dengan sengaja membuat pernyataan kepada masyarakat luas yang mendorong dan diperkirakan mengakibatkan tindakan-tindakan tidak sesuai hukum di Capitol", yang berujung pada kekerasan dan hilangnya nyawa.
"Presiden Trump sangat membahayakan keamanan Amerika Serikat dan lembaga-lembaga pemerintahannya, mengancam integritas sistem demokrasi, mengganggu transisi kekuasaan secara damai, dan membahayakan cabang pemerintahan yang setara," bunyi pasal pemakzulan tersebut.
Lalu, mungkinkan Trump dicopot dari jabatannya?
Mayoritas senat sudah cukup untuk melakukan Pemakzulan Donald Trump. Tetapi untuk membebas tugaskannya, ia kemudian harus dihukum atas dakwaan tersebut oleh Senat, di mana dua pertiga mayoritas diperlukan.
Meskipun persidangan bisa dimulai setelah masa jabatannya berakhir, tetapi jika ia dihukum, Trump bisa dilarang untuk memegang jabatan publik lagi.
Ketua Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM), Nur Rachmat Yuliantoro, menilai kerusuhan yang terjadi merupakan bentuk dari treason - penghianatan - sehingga bisa membuat presiden dimakzulkan.
"Menurut Pasal II Ayat 4 Konstitusi Amerika Serikat, seorang presiden dapat dikenai tuduhan pemakzulan dan diturunkan dari jabatannya apabila ia terlibat dalam "Treason, Bribery, or other High Crimes and Misdemeanors", atau pengkhianatan, penyuapan (korupsi), dan kejahatan tingkat tinggi lainnya," ujar Nur Rachmat kepada Liputan6.com.
Partai Demokrat menilai serangan tersebut merupakan bentuk pemberontakan (insurrection). Menurut Nur Rachmat, Trump sejak dulu sudah memanas-manasi situasi lewat cuitan di Twitter sehingga tidak keliru jika ia dianggap bertanggung jawab.
"Presiden Donald Trump dinilai sebagai telah mendorong, memprovokasi tindakan insurrection tersebut, yang dinilai sama dengan pengkhianatan kepada Konstitusi dan sebuah kejahatan tingkat tinggi kepada kewenangan Kongres," ungkap dia.
Nur Rachmat menjelaskan bahwa pemakzulan politik Trump sangat penting bagi masa depan AS. Jika Trump dimakzulkan, maka ia tidak akan bisa mencalonkan diri pada 2024 meski punya jutaan pendukung.
Di sisi lain, langkah pemakzulan bisa dibilang pedang bermata dua bagi Demokrat. Risiko pemakzulan bisa membuat pendukung Trump semakin solid untuk menjadi oposisi pada penguasa (establishment).
Guru Besar Hubungan International Universitas Pelita Harapan (UPH) Aleksius Jemadu mengingatkan bahwa pendukung Donald Trump masih sangatlah banyak. Pendukung Trump banyak dari daerah rural yang merasa ditinggalkan dan tidak diwakili elit politik di Washington D.C. Ini berbeda dari pendukung Joe Biden cenderung berasal dari daerah yang "elit" seperti New York dan California.
"Kita tidak setuju dengan apa yang dilakukan Trump, tapi jangan lupa, di mata pendukungnya dia Trump itu adalah seorang pahlawan yang menjadi simbol perlawanan terhadap establishment, ekonomi, media Amerika, yang dirasa terlalu egois, mendominasi, dan mau untungnya sendiri, sementara rakyat kecil yang kebutuhan ekonominya, kehilangan pekerjaan, yang selama ini diselamatkan oleh Trump, itu kan merasa terabaikan. Jadi masalahnya ini tidak di permukaannya aja, sangat mendalam," jelas Aleksius kepada Liputan6.com.
Apabila Trump dimakzulkan, Aleksius memprediksi massa Trump akan semakin nekat menentang establishment, pasalnya dukungan Trump masih terkait masalah perut pendukungnya alias ekonomi.
Donald Trump dianggap bisa menggunakan ketidakpuasan itu sebagai cara untuk meraih konstituen besar, meski dia sendiri sebetulnya juga miliarder dari New York.
"Ketimpangan struktural yang sudah lama tidak bisa dibenahi. Orang seperti menanggap itu tidak ada masalah. Nah, muncul orang yang 'gila' seperti Trump, lalu dia menjadi pahlawan. Jadi ini masalah ketidakadilan, masalah ketimpangan struktural," kata Aleksius.
Trump berargumen bahwa ia tidak pernah memprovokasi pendukungnya, namun Aleksius menganggap pernyataan Trump harus dibuktikan secara hukum, bukan lewat pembelaan sepihak.
"Dia bisa ngomong begitu, tapi akhirnya semuanya harus dibuktikan di hadapan hukum yang nanti menilai, bukan apa omongan beliau. Hukum yang menentukan apakah telah terjadi suatu tindakan pidana di dalam hal ini," ungkap Aleksius.
Bila Donald Trump terbukti memprovokasi, Aleksius menyebut tindakan itu sudah termasuk ranah pembangkangan sehingga bisa membuatnya dimakzulkan.
Aleksius mencatat memang ada senator Partai Republik yang tidak pro-Trump, namun ia menilai proses pemakzulan Donald Trump di Senat tidak akan mulus.
"Itu yang mungkin tidak semulus yang di DPR karena dia banyak pertimbangan, implikasi ke depan bagaimana, apakah bisa menenangkan pendukung si Trump, nanti kira-kira efek ke depannya seperti apa," ujar Aleksius.
Nur Rachmat Yuliantoro menambahkan, komposisi di Senat saat ini belum ideal untuk proses pemakzulan yang mulus. "Melihat komposisi ini tampaknya masih akan sulit bagi Demokrat untuk mendapatkan keputusan pemakzulan," ujarnya.
Berdasarkan hasil pemilu 2020, Demokrat dan Republik sama-sama punya 50 kursi di Senat. Wakil Presiden (Kamala Harris) bisa ikut memilih sehingga Demokrat punya 51 suara. Jumlah senator Demokrat masih tidak cukup untuk pemakzulan.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Politik Alih-Alih Hukum
DPR AS dikuasai oleh Partai Demokrat yang ingin Trump lengser. Namun, ada 10 anggota Partai Republik yang ikut mendukung pemakzulan yang menilai Trump berbahaya jika dibiarkan hingga pelantikan Biden pada 20 Januari mendatang.
"Dia harus pergi, ia jelas sangat bahaya dan nyata bagi negara yang kita cintai," ujar Ketua DPR Nancy Pelosi yang gagal melengserkan Trump pada 2019.
Donald Trump adalah satu-satunya presiden AS yang dimakzulan dua kali di era modern. Pemakzulannya ini didukung oleh Partai Demokrat dan beberapa anggota Partai Republik.
Sebelumnya, kedua partai juga pernah kompak saat memakzulkan Presiden Bill Clinton akibat skandal seks di dalam Gedung Putih.
Namun, mayoritas anggota Kongres dari Partai Republik masih mendukung Trump, meski ada beberapa yang mengecam Trump akibat kerusuhan Capitol Hill. Apabila Donald Trump dimakzulkan, ia tak bisa mencalonkan diri sebagai presiden pada 2024.
Donad Trump sendiri meminta agar tidak ada pemakzulan karena akan membuat rakyat kecewa. Selain itu, Trump membantah pidatonya memprovokasi massa.
"Saya pikir itu menyebabkan kemarahan besar kepada negara kita, dan itu menyebabkan kemarahan besar. Saya tidak ingin kekerasan," ujar Donald Trump di Texas, Selasa 12 Januari 2021.
Pengamat dalam negeri turut menyoroti kasus yang tengah jadi pemberitaan di Amerika Serikat.
Dalam laporan media lokal negara bagian Virginia AS, NBC29, Direktur Studi Kepresidenan di UVA Miller Center of Public Affairs, Barbara Perry berpendapat bahwa pemakzulan terhadap Trump kali ini berfokus pada apa yang terjadi padanya setelah meninggalkan Gedung Putih.
"Dia akan dilarang mencalonkan diri lagi (pada Pilpres 2024). Sementara yang lainnya adalah bahwa pemakzulan tidak bisa diampuni," jelas Perry, dikutip dari NBC29.
"(Dampak pemakzulan) yang lainnya adalah hukuman tidak menerima pensiun, dan mungkin menerima jaminan keamanan, dan hal lainnya," sebut Perry.
"Jadi dalam beberapa hal, (pemakzulan itu) bukan tentang perannya sebagai presiden, melainkan bagaimana semua keuntungan yang didapat dari menjadi presiden Amerika Serikat bisa ditarik," tambah Perry.
Profesor Sejarah, Hukum, dan Kehormatan di Cedarville University, Dr. Marc Clauson melihat keputusan pemakzulan sebagai hal yang berbeda, bagaimana langkah terebut sebagai hal politik, alih-alih dari faktor hukum.
"Pemakzulan terhadap Trump berbeda, itu politik, bukan hukum. Itu benar-benar proses yang berlarut-larut," kata Clauson, seperti dikutip dari laporan media lokal AS, ABC 6.
"Sepertinya Partai Republik telah terpecah dan itu adalah hal yang cukup signifikan. Partai Demokrat melihat perpecahan antara sayap kiri yang relatif moderat. Tapi, Partai Republik relatif kohesif, sampai belum lama ini dan ini baru saja terjadi. Semacam merobek tabir tepat di tengah menurut saya," sebut Clauson.
Sementara itu, asisten profesor Ilmu Politik dan Pemerintahan di Ohio Wesleyan University, Dr. Brianna Mack meyakini Presiden terpilih AS Joe Biden kemungkinan akan berfokus pada persatuan, tetapi perlu membangun kembali kepercayaan dan keamanan di Capitol.
"Sesuatu harus dilakukan, karena sekarang fondasi telah disentuh dan seseorang harus melakukan sesuatu untuk memastikan dan meredakan kekhawatiran dan ketakutan (pascakerusuhan di Capitol Hill)," kata Mack.
Advertisement
Pernyataan Donald Trump
Beberapa saat setelah dimakzulkan oleh DPR Amerika Serikat, Donald Trump merilis sebuah pesan video.
Dalam sebuah video yang dibagikan oleh Gedung Putih, Trump tidak menyebut pemakzulan yang sedang dilakukan terhadapnya.
Video pernyataan itu berfokus pada seruan untuk tenang menyusul kericuhan di Gedung Capitol Hill, yang dilakukan oleh massa pendukungnya.
"Tidak ada pendukung saya yang mendukung kekerasan politik. Tidak ada pendukung saya yang melanggar penegakan hukum atau bendera negara kita," kata Trump, seperti dikutip dari CNN, Kamis (14/1/2021).
"Sekarang saya meminta semuanya yang percaya pada tujuan kita agar menurunkan ketegangan, dan membantu menenangkan serta membagikan perdamaian di negara kita," lanjutnya.
Kemudian, dalam akhir video, Trump menuding adanya "serangan terhadap kebebasan berpendapat yang belum pernah terjadi sebelumnya, dalam beberapa hari terakhir".
Trump juga menuding adanya "upaya sensor dan mendaftarhitamkan sejumlah orang yang (menurutnya) salah dan membahayakan".
"Yang kita butuhkan sekarang adalah mendengarkan satu sama lain, bukan untuk membungkam satu sama lain," ujar Trump.
Jika Pemakzulan Trump Gagal
Rapat Kongres AS telah memutuskan bahwa Joe Biden resmi menjadi Presiden ke-46 Amerika Serikat menggantikan Donald Trump.
Lalu, apa yang biasanya dilakukan mantan presiden Amerika Serikat setelah melepas jabatannya? Selain itu, apa saja hal yang mereka dapatkan setelah melakukan pengabdian pada negara?
Dikutip dari laman Mentalfloss, banyak presiden menulis buku atau berkarier di tempat lain dengan memberikan pidato untuk mendapatkan penghasilan. Ada pula yang memulai organisasi nirlaba untuk melanjutkan upaya amal yang dapat mendukung mereka selama masa jabatan presiden.
William Howard Taft mengambil jalan yang berbeda saat ia menjadi Hakim Agung. Tetapi setelah memegang jabatan tertinggi di negeri itu, apakah presiden bekerja karena mereka harus atau karena mereka ingin?
Menurut Undang-Undang tentang Mantan Presiden AS yang disahkan pada 1958, mantan presiden berhak atas beberapa tunjangan setelah menjadi presiden, termasuk pensiun dan dana perjalanan, ruang kantor, dan staf pribadi.
Dwight D. Eisenhower mengeluarkan undang-undang tersebut sebagian besar untuk membantu Harry Truman, yang berjuang untuk menghidupi dirinya sendiri setelah meninggalkan Gedung Putih.
Truman menolak banyak tawaran pekerjaan yang nyaman, menjelaskan bahwa, "Saya tidak akan pernah bisa melakukan transaksi apa pun."
Saat ini, lebih dari 60 tahun kemudian Menteri Keuangan AS membayar pensiun tahunan seumur hidup sebesar $ 200.000 ke Jimmy Carter, Bill Clinton, George W. Bush, Barack Obama, dan Donald Trump --bila ia tidak dimakzulkan.
Jika mantan presiden meninggal sebelum pasangannya, pasangan tersebut mendapat pensiun tahunan sebesar $ 20.000 serta hak istimewa melalui surat dan perlindungan Secret Service seumur hidup (kecuali mereka menikah lagi).
Administrasi Layanan Pemerintah membayar ruang kantor, furnitur, staf, dan sejumlah kebutuhan lainnya. Ini juga memberi mereka ganti rugi atas perpindahan keluar dari Gedung Putih dan setiap perjalanan terkait pekerjaan yang mereka lakukan.
Jumlah uang yang didapat mantan presiden untuk ruang kantor dan staf mereka bervariasi. Pada 2010, misalnya, kantor Carter di Atlanta mendapatkan US$ 102.000 per tahun, sedangkan kantor Bill Clinton di New York adalah US$ 516.000.
Selain pensiun dan dana terkait kantor, mantan presiden Amerika Serikat mendapatkan perlindungan Secret Service seumur hidup untuk diri mereka sendiri, pasangan mereka, dan anak-anak mereka yang berusia di bawah 16 tahun.
Pada 1985, 11 tahun setelah mengundurkan diri dari kepresidenan, mantan Presiden Richard Nixon memutuskan untuk tak menerima bantuan Secret Service-nya. Mengklaim bahwa dia ingin menghemat uang pemerintah AS -- di mana perlindungan Secret Service menelan biaya sekitar US$ 3 juta setiap tahun.
Oleh karenanya, Nixon memilih untuk membayar perlindungan pengawalnya sendiri daripada meminta pembayar pajak mendanai itu.
Keputusan Nixon untuk mengundurkan diri dari jabatan kepresidenan mungkin merupakan keputusan yang cerdas secara finansial, karena Undang-Undang tersebut menunjukkan bahwa seorang presiden yang dipaksa keluar dari kantor melalui pemakzulan tidak akan berhak atas tunjangan pasca-kepresidenan.
Tetapi karena Nixon mengundurkan diri sebelum dia dimakzulkan, Departemen Kehakiman memutuskan bahwa Nixon harus memenuhi syarat untuk menerima keuntungan finansial yang sama dari sesama mantan presiden. Demikian pula, karena Clinton dimakzulkan tetapi dibebaskan, maka tunjangan pensiunnya aman.
Advertisement