Sukses

Kapal Api dan WAHAHA Siap Produksi Minuman Khas Indonesia di China

PT Kapal Api Global menggandeng perusahaan Tiongkok WAHAHA Group untuk memproduksi minuman khas Indonesia di China.

Liputan6.com, Jakarta - PT Kapal Api Global akan memproduksi minuman dengan kandungan cita rasa Indonesia di China. Kapal Api menggandeng produsen minuman botol WAHAHA Group asal Hangzhou untuk rencana ini.

Kerja sama bisnis ini disambut positif oleh Kedutaan Besar Indonesia di China, serta Duta Besar Djauhari Oratmangun. 

"Masuknya produk kopi Indonesia yang dikembangkan bersama antara WAHAHA Group dan PT Kapal Api Global, diharapkan mampu memberikan terobosan baru dalam mendorong produk minuman besutan kedua perusahaan tesebut di pasar Tiongkok," tulis laporan di situs Kemlu.go.id, seperti dikutip Sabtu (23/1/2021).

Pihak WAHAHA Group mengaku senang dengan dukungan dari Dubes RI dan Konjen RI di China, bersama Chairman INACHAM (Indonesia Chamber of Commerce). Ke depannya, WAHAHA tertarik untuk memperkuat jalinan bisnis antara China dan Indonesia.

Dubes Djauhari juga berharap WAHAHA Group dapat mengembangkan bisnis dengan menggandeng produk-produk makanan dan minuman unggulan lainnya dari Indonesia untuk masuk pasar Tiongkok. 

WAHAHA Group berdiri sejak 1987 dan aktif di sektor produsen minuman segar kemasan botol di China. Perusahaan itu masuk dalam Top 500 China Entreprises.

Total karyawan di WAHAHA mencapai 30 ribu orang dengan 80 basis produksi di seluruh China. Penjualan mereka pertahun mencapai 720 miliar yuan.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 3 halaman

Peluang dari RCEP

WAHAHA Group tertarik mengeksplorasi lebih lanjut kerja sama dengan berbagai mitra di Indonesia, khususnya menyikapi peluang pasca penandatanganan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). 

RCEP merupakan perjanjian kerja sama dagang terbesar di dunia yang ditandatangani oleh 10 negara anggota ASEAN, bersama Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Australia.

Kawasan ini mencakup 2,1 miliar orang (30 persen populasi dunia) dan menyumbang sekitar 30 persen Produk Domestik Bruto (PDB) global. Tujuan kesepakatan ini untuk menurunkan tarif, membuka perdagangan barang dan jasa, serta mempromosikan investasi.

Menurut Managing Director Bank Dunia Mari Pangestu, salah seorang inisiator RCEP pada KTT Asean di Bali pada 2011 silam, kerja sama dagang ini akan menguntungkan ASEAN, karena kelahirannya justru dimaksudkan untuk mengimbangi kekuatan ekonomi Asia Timur (Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan).

Secara khusus, RCEP diharapkan dapat memangkas biaya dan waktu bagi perusahaan dalam mengekspor produknya ke negara-negara dalam lingkup perjanjian ini. Eksportir hanya perlu menggunakan satu macam Surat Keterangan Asal (SKA) untuk bisa mengekspor ke seluruh negara anggota RCEP. Selain itu, diharapkan terdapat spill-over effect, yang memperluas jangkauan Indonesia ke negara-negara di luar anggota RCEP dan rantai pasok global.

3 dari 3 halaman

Ketua MPR Harap RCEP Bisa Dongkrak Ekonomi Indonesia

Pada Desember 2020, Ketua MPR Bambang Soesatyo atau Bamsoet menekankan RCEP yang telah disepakati negara-negara ASEAN (termasuk Indonesia) bersama lima negara besar (Australia, New Zealand, China, Jepang dan Korea Selatan), harus dimanfaatkan untuk mendongkrak perekonomian nasional mengingat perjanjian itu diinisiasi oleh Indonesia, dipimpin oleh Indonesia, dan ditandatangani atas 'restu' Indonesia.

"Keuntungan yang diperoleh antara lain meningkatkan ekspor ke negara-negara peserta RCEP hingga 8-11 persen, menarik investasi hingga 18-22 persen, dan mendorong ekspor hingga 7,2 persen," ujar Bamsoet dalam keynote speech FGD 'RCEP Dalam Perspektif UUD NRI 1945', kerjasama MPR RI dengan BS Center, di Jakarta, Jumat 11 Desember 2020.

Bamsoet menyebut dampak positif RCEP hanya dapat dimanfaatkan apabila Indonesia mempunyai daya saing yang tangguh. Jika tidak, RCEP hanya menjadikan Indonesia sebagai pangsa pasar strategis bagi membanjirnya produk-produk impor negara-negara anggota RCEP lainnya.

"Dalam Indeks Daya Saing Global Tahun 2019 yang dirilis Forum Ekonomi Dunia, Indonesia turun peringkat ke posisi 50, dari sebelumnya pada tahun 2018 berada di posisi 45. Sementara penilaian International Institute for Management Development (IMD) yang merilis World Competitiveness Ranking 2020, peringkat daya saing Indonesia juga mengalami penurunan ke posisi 40, dari sebelumnya di tahun 2019 berada di posisi posisi 32 dari 63 negara," tutur Bamsoet.