Sukses

Jerman Lirik Peluang Obat Antibodi COVID-19 untuk Sembuhkan Pasien Terinfeksi, Ampuh?

Apakah obat Antibodi COVID-19 yang dibeli Jerman bakal ampuh menyembuhkan pasien?

Berlin - Proses vaksinasi untuk melawan Virus Corona COVID-19 sudah berjalan di sejumlah negara, salah satunya Indonesia yang pada 27 Januari 2021 telah memasuki penyuntikan dosis kedua vaksin.

Mengutip DW Indonesia, Rabu (27/1/2021), daftar kandidat obat COVID-19 sudah sangat panjang. Setiap hari ada saja berita baru mengenai tema ini.

Kendati demikian, hingga saat ini belum ada satupun yang terbukti ampuh memerangi penyakit yang dipicu Virus Corona SARS-CoV-2. Termasuk obat-obatan yang digunakan saat ini, terutama yang diberikan untuk mencegah pasien COVID-19 mengalami sakit parah.

Sementara itu, sejak beberapa hari belakangan, diskusi mengenai dua jenis obat antibodi untuk pasien COVID-19 risiko tinggi kembali mencuat di Jerman. Obat tersebut adalah Bamlanivimab dari perusahaan farmasi Eli Lilly, dan REGN-CoV-2 buatan Regeneron, berupa "cocktail" dua antibodi Casirivimab dan Imdevimab.

Meski Belum Dapat Izin, Jerman Sudah Beli Obat Antibodi

Sejauh ini, di Amerika Serikat, dua jenis obat antibodi tersebut telah mendapat izin penggunaan darurat untuk diberikan kepada pasien berusia 12 tahun ke atas, yang memiliki risiko mengembangkan gejala berat COVID-19.

Menurut Lembaga pengawas obat-obatan AS (FDA), obat tersebuti bisa menurunkan probabilitas gejala sakit berat.

Di Uni Eropa, obat antibodi ini belum mendapat izin dari lembaga regulasi obat.

Meski demikian, pemerintah Jerman sudah membeli 200.000 dosis obat antibodi itu untuk mengobati pasien COVID-19 yang menghadapi risiko gejala parah. Dibanderol seharga 200 Euro (sekitar Rp. 3,4 juta) per dosis.

Saksikan Juga Video Ini:

2 dari 2 halaman

Bagaimana Cara Kerja Obat Antibodi?

Kedua obat antibodi itu memiliki prinsip kerja yang sama. Antibodi mengikat apa yang disebut "Spike protein" pada virus SARS-CoV-2. Dengan cara itu Virus Corona dicegah memasuki sel manusia. Antibodi monoklonal ini direkayasa di laboratorium, dan berfungsi membuat virusnya tidak berdaya setelah kasus infeksi.

Obat buatan perusahaan farmasi AS Regeneron ini mengandung dua jenis antibodi monoklonal. Pengobatan menunjukkan pengurangan beban virus, yakni jumlah virus yang terlacak pada tubuh, dan dengan cepat menurunkan gejalanya, demikian keterangan Regeneron. Obat antibodi Regeneron diberikan kepada mantan presiden AS, Donald Trump saat dia terinfeksi corona Oktober 2020 lalu.

"Keunggulan cocktail antibodi Regeneron, probabilitasnya efektifitasnya lebih bagus, karena paling tidak ada satu antibodi yang benar-benar ampuh untuk setiap pengobatan spesifik" ujar pakar virologi Jerman Sandra Ciesek dalam podcast "Coronavirus-Update" dari stasiun penyiaran NDR.

Seperti diketahui, obat antibodi dari perusahaan farmasi  Eli Lilly hanya mengandung satu jenis antibodi monoklonal.

Obat antibodi ini berfungsi seperti imunisasi pasif. "Pemberian obat antibodi kepada pasien berisiko tinggi pada stadium awal COVID-19, membantu mencegah munculnya gejala sakit yang lebih parah", kata menteri kesehatan Jerman, Jens Spahn.

Jika obat antibodi diberikan dalam waktu 10 hari setelah terinfeksi, hasilnya terbukti sangat bagus. Demikian hasil penelitian, seperti diungkapkan pimpinan FDA Stephen Hahn.

Apakah ada efek sampingnya?

Sejauh ini riset klinis terhadap pasien yang mendapat pengobatan dengan Regeneron tidak menunjukkan efek samping lebih berat daripada kelompok pembanding. Namun FDA juga mengingatkan, ada kemungkinan potensi efek samping, baik yang lazim maupun yang berat.

Efek vaksinasi pasif yang lazim antara lain, demam, meriang, sakit kepala, mual, pusing, sakit tenggorokan atau ruam pada kulit. Sementara kemungkinan reaksi berlebihan antara lain syok anaphilaktis yang dipicu obat antibodi tersebut.

FDA melaporkan, antibodi Casirivimab dan Imdevimab dari Regeneron maupun Bamlanivimab dari perusahaan farmasi Eli Lilly masih terus diteliti, dan kemungkinan belum semua risiko dikenali atau diketahui. Pada obat antibodi Eli Lilly dalam riset pada 850 kasus mencatat ada dua kasus efek samping berat, yang kemudian ditangani sesuai prosedur.