Liputan6.com, Naypyidaw - Lebih dari belasan perwakilan asing, termasuk PBB hingga delegasi AS dan Uni Eropa, mendesak Myanmar untuk "mematuhi norma-norma demokrasi", menyusul ketegangan politik dan kemungkinan ancaman kudeta yang dipimpin oleh militer terhadap pemerintahan sipil pimpinan Aung San Suu Kyi.
Krisis politik terjadi di tengah meningkatnya ketegangan antara militer kuat negara itu dan pemerintahan sipil Aung San Suu Kyi, demikian seperti dikutip dari Bloomberg, Sabtu (30/1/2021).
Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi yang berkuasa memenangkan kemenangan telak dalam pemilu November 2020.
Advertisement
Namun, militer dan faksi politiknya telah menuntut pihak berwenang menyelidiki tuduhan kecurangan pemungutan suara massal.
Baca Juga
Seorang juru bicara untuk militer (Tatmadaw), pada Selasa 26 Januari 2021 menolak untuk mengesampingkan kemungkinan kudeta militer, sementara panglima Min Aung Hlaing pada Rabu 27 Januari melayangkan gagasan untuk mencabut konstitusi negara.
Komisi pemilu Myanmar, pada Kamis 28 Januari, melabeli pelaksanaan pemilihan November 2020 --yang merupakan pemilihan umum bebas kedua setelah puluhan tahun junta militer-- sebagai praktik yang transparan dan adil.
PBB, Amerika Serikat, dan Uni Eropa, pada Jumat 29 Januari mendesak militer untuk menghormati hasil pemilu yang diterima secara luas.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mendesak "semua aktor untuk berhenti dari segala bentuk hasutan atau provokasi, menunjukkan kepemimpinan, dan mematuhi norma-norma demokrasi," dalam sebuah pernyataan yang dirilis hari Kamis.
Kedutaan besar AS --bersama dengan 16 negara termasuk Inggris dan delegasi Uni Eropa-- merilis pernyataan hari Jumat agar mendesak militer "mematuhi norma-norma demokrasi".
"Kami menentang setiap upaya untuk mengubah hasil pemilu atau menghambat transisi demokrasi Myanmar," demikian pernyataan bersama dari beberapa misi diplomatik negara asing di Myanmar.
Anggota komite eksekutif NLD, Myo Nyunt menyatakan bahwa partainya tidak akan diam.
"Tidak pantas bagi militer untuk mendorong klaim (kemenangannya) setelah hasil pemilu telah disertifikasi," jelasnya.
"Apa pun yang mereka lakukan, harus sejalan dengan undang-undang yang ada," lanjut politisi sipil Myanmar tersebut.
Simak video pilihan berikut:
Krisis Konstitusional?
Penulis Thant Myint-U, yang menulis "Sejarah Tersembunyi Burma: Ras, Kapitalisme, dan Krisis Demokrasi di Abad ke-21" mencatat dalam sebuah tweet hari Kamis bahwa Myanmar tengah mengalami "krisis konstitusional yang paling akut sejak penghapusan junta lama pada 2010."
Di antara keluhan para kepala militer Myanmar adalah tuduhan 8,6 juta kasus penipuan pemilih di negara beranggotakan hampir 55 juta orang itu, kata juru bicara Tatmadaw, Brigadir Jenderal Zaw Min Tun saat konferensi pers pada Selasa 26 Januari.
Dia juga mengatakan militer telah mengamati lebih dari satu juta suara duplikat. "Kami tidak bisa menutup mulut setelah kami menemukan bukti yang kuat seperti itu," katanya saat itu.
Pemerintahan sipil Myanmar --yang baru terbentuk pada satu dekade lalu-- berulang kali bentrok dengan militer untuk lebih banyak kekuasaan di negara yang selama hampir lima dekade berada di bawah pemerintahan junta sebelum memulai reformasi politik pada tahun 2010.
Selain mengajukan banding ke komisi pemilihan umum dan pemerintah untuk memastikan pemilihan yang adil, Partai Solidaritas dan Pembangunan Serikat yang selaras dengan militer dan mantan jenderal, Soe Maung, telah mencari sidang Mahkamah Agung atas dugaan penyimpangan tersebut.
Dereck Aw, analis utama Myanmar di Control Risks menilai bahwa "militer tengah mendorong klaim kecurangan pemungutan suara --yang tidak berdasar-- bukan untuk memperebutkan atau membatalkan hasil pemilu tetapi untuk menyelamatkan wajah setelah kalah dalam pemilu."
"Mereka menggunakan tuduhan itu sebagai pengaruh dalam negosiasi penting yang terjadi antara Tatmadaw dan NLD saat ini."
Advertisement