Sukses

HEADLINE: Kudeta di Negeri Seribu Pagoda, Sejarah Kelam Myanmar yang Tak Pernah Kelar?

Militer Myanmar melakukan kudeta dan menangkap Penasihat Negara Aung San Suu Kyi.

Liputan6.com, Jakarta - Pagi itu Matahari belum terbit. Namun tentara Myanmar sudah melancarkan operasi. Bukan perang melawan musuh negara. Tapi kudeta di Negeri Seribu Pagoda.

Militer menangkap Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi pada Senin 1 Februari. Selain Suu Kyi, Presiden Myanmar Win Myint dan tokoh senior partai berkuasa lainnya juga ditangkap dalam operasi penggerebekan.

Frontier Myanmar melaporkan, penangkapan terjadi sekitar pukul 02.30 waktu setempat. Tak lama  berselang, media sosial Facebook mulai dipenuhi berbagai informasi dan perkembangan terkait penggerebekan tersebut.

Sesaat sebelum jalur komunikasi telepon dan internet terputus di Nay Pyi Taw, Ibu Kota Myanmar, beberapa anggota parlemen sempat menyiarkan langsung penangkapan mereka oleh pihak militer secara live streaming. 

Kudeta militer ini berdampak hampir ke seluruh pelayanan publik, seperti pasar hingga bank tutup yang menyebab antrean panjang di ATM-ATM. Bahkan beberapa toko sudah kehabisan stok bahan pokok, seperti beras.

Penangkapan Aung San Suu Kyi dan barisannya terjadi hanya beberapa jam sebelum parlemen memulai sidang sesi pertama setelah Pemilu November 2020.

Penggerebekan dilakukan setelah militer yang kuat di negara itu meningkatkan momok untuk melancarkan kudeta karena menuntut penyelidikan atas dugaan kecurangan Pemilu 2020. Dalam pemilu itu, Partai Liga Nasional untuk Demokrasi atau NLD (National League of Democracy) menang telak, namun banyak dikritik kelompok-kelompok hak asasi karena pencabutan hak pilihnya di daerah yang dilanda konflik.

NLD yang dipimpin Suu Kyi, mantan tahanan politik dan tokoh perjuangan panjang Myanmar melawan kediktatoran, memenangkan 83 persen kursi yang tersedia dalam pemilihan 8 November 2020.

Aung San Suu Kyi berkuasa di Myanmar setelah menang telak dalam Pemilu 2015 yang diikuti dengan ditetapkannya sebagai tahanan rumah dalam perjuangan untuk demokrasi, yang mengubahnya menjadi ikon internasional. Suu Kyi sebelumnya juga pernah menjadi tahanan rumah selama 15 tahun dari 21 tahun masa penahanannya sejak pemilu 1990. Kala itu junta militer juga tak terima kekalahan dari Suu Kyi yang menang pemilu.

Tak lama setelah menangkap Suu Kyi, pihak militer melalui TV Myawaddy mengumumkan akan memerintah sementara selama 1 tahun. Junta Militer Myanmar turut memecat 24 menteri dan deputi di kabinet Aung San Suu Kyi. 

Seraya mengonsolidasikan kekuasaan, militer Myanmar juga mengangkat 11 orang untuk masuk ke dalam kabinet untuk mengurus menteri bidang keuangan, kesehatan, informasi, hubungan luar negeri, pertahanan, perbatasan, dan dalam negeri.

Menurut laporan Channel News Asia, meski melakukan kudeta, militer Myanmar berjanji akan menegakan sistem demokrasi multi-partai.

Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) menyuarakan kritik keras terhadap kudeta militer yang terjadi di Myanmar. Tindakan itu dinyatakan tak memiliki landasan hukum, politik, dan moral yang kredibel.

Ketua FPCI Dino Patti Djalal mengatakan, kudeta ini menjadi preseden buruk dalam usaha Myanmar membangun negara. Jangan sampai kudeta yang terus berulang ini menjadi sejarah kelam Myanmar yang tak pernah kelar.

Argumen militer ada kecurangan pemilu juga tak bisa menjadi pembenaran untuk merebut kekuasaan. "Laporan penangkapan Daw Aung San Suu Kyi dan sekutu-sekutu politiknya setelah hasil pemilihan November 2020 jelas merupakan langkah mundur dari konsolidasi demokrasi Myanmar yang sudah terkendala dalam beberapa tahun terakhir," ujar Dino Patti Djalal kepada Liputan6.com, Selasa (2/2/2021).

FPCI turut meminta agar Suu Kyi segera dilepaskan. "FPCI meminta kepemimpinan militer Myanmar untuk memastikan pelepasan cepat tanpa syarat bagi Daw Aung San Suu Kyi dan rekan-rekan politiknya dan semua tahanan politik yang sedang ditangkap," ucap Dino.

Sejauh ini, negara-negara ASEAN belum satu suara mengecam kudeta Myanmar. Namun, FPCI menjelaskan bahwa apa yang terjadi di Myanmar tidak sejalan dengan Piagam ASEAN.

Pada Piagam ASEAN, ada komitmen agar rakyat dan anggota negara ASEAN hidup dalam lingkungan yang adil, demokratis, dan harmonis, serta memperkuat demokrasi, pemerintahan yang baik, memperkuat hukum, melindungi HAM, dan hak-hak fundamental.

"Kami mendorong ASEAN agar terus secara kompak mendorong Myanmar agar menghidupi semangat Piagam ASEAN dan visi ASEAN Political Security Community. Sebabnya, apa yang terjadi di Myanmar itu tidak hanya penting untuk Myanmar, tetapi untuk masa depan di rumah kita bersama Asia Tenggara," jelas Dino.

Komunitas internasional terutama ASEAN, juga diminta agar terlibat untuk mengobservasi pemilihan umum di Myanmar apabila militer mengadakannya. "Pemilihan di Myanmar haruslah diputuskan oleh kehendak rakyat dan bukan oleh desain elit politik," ujar Dino.

Terkait peran ASEAN, Ketua Badan Kerjasama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI Fadli Zon mendorong agar ASEAN melakukan tindakan progresif dalam menyikapi persoalan yang terjadi di Myanmar. "Menurut saya, ASEAN perlu mendorong terjadinya dialog, dan mungkin juga power sharing antarfaksi yang terlibat konflik. Sebab, selama ini ASEAN sangat lamban dan tak banyak berfungsi dalam mengatasi persoalan-persoalan semacam itu."

"ASEAN kelihatan tak berdaya dalam menangani masalah Rohingya apalagi kini ada kudeta," ungkap Fadli kepada Liputan6.com.

ASEAN dituntut harus bisa menafsirkan asas non-interference secara lebih progresif. Sebab, menurutnya, selama ini prinsip tersebut telah membelenggu ASEAN untuk melakukan tindakan berarti jika ada konflik yang terjadi di negara anggotanya.

"Kita memang harus menghormati kedaulatan negara lain. Namun, asas non-interference seharusnya tak dimaknai bahwa ASEAN bersikap pasif atas situasi di Myanmar. Saya mendorong agar pemerintah Indonesia bisa menginisiasi dialog tersebut. Tentu DPR akan sangat mendukung langkah tersebut sebagai wujud komitmen terhadap demokrasi dan HAM," Fadli menegaskan.

Sementara itu, Pengamat Politik Asia Tenggara, Sudarnoto Hakim mengangkat isu Rohingya yang perlu menjadi perhatian banyak pihak. Terlebih, mengingat Aung San Suu Kyi pernah menjadi sorotan dunia terkait kasus tersebut. 

Menurutnya, penting bagi Myanmar untuk tidak mengulang hal yang sama dan tetap mengedepankan hak asasi manusia dan hak hidup kelompok minoritas Muslim Rohingya. "Jangan sampai jadi sejarah buruk lagi dan nanti Myanmar dikenal sebagai negara yang penuh sejarah kelam terutama dalam hal penegakan hak asasi manusia dan juga kaum minoritas Muslim," tegas Sudarnoto saat dihubungi Liputan6.com.

 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 4 halaman

Sikap Indonesia

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri (Kemlu) menyampaikan sejumlah hal terkait dengan kondisi politik dalam negeri Myanmar. "Indonesia sangat prihatin atas perkembangan politik terakhir di Myanmar," tulis Kemlu RI.

"Indonesia mengimbau penggunaan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Piagam ASEAN, di antaranya komitmen pada hukum, kepemerintahan yang baik, prinsip-prinsip demokrasi dan pemerintahan yang konstitusional."

Selain itu, Indonesia juga berharap ada penyelesaian hukum mengenai perselisihan yang terjadi akibat perbedaan pendapat pada hasil pemilihan umum November 2020. "Indonesia juga menggarisbawahi bahwa perselisihan-perselisihan terkait hasil pemilihan umum kiranya dapat diselesaikan dengan mekanisme hukum yang tersedia."

"Indonesia mendesak semua pihak di Myanmar untuk menahan diri dan mengedepankan pendekatan dialog dalam mencari jalan keluar dari berbagai tantangan dan permasalahan yang ada sehingga situasi tidak semakin memburuk."

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai kudeta yang dilakukan militer Myanmar terhadap pemerintahan Aung San Syu Kyi adalah murni masalah internal di Myanmar. Dalam Piagam ASEAN di Pasal 2 ayat 2 huruf e disebutkan bahwa negara-negara ASEAN tidak akan melakukan intervensi (non-interference) dalam masalah domestik suatu negara.

"Oleh karenanya sikap Indonesia adalah menghormati hal ini dengan tidak melakukan apa-apa sampai ada kepastian dari pemerintah yang sah. Yang pasti Indonesia tidak bisa turut campur dalam urusan dalam negeri Myanmar," kata dia kepada Liputan6.com.

Memang, sambungnya, kudeta adalah proses pengambilalihan pemerintahan yang sifatnya inkonstitusional. "Pada saatnya menjadi pertanyaan apakah pemerintahan yang baru akan diakui oleh negara-negara atau tidak, termasuk oleh Indonesia."

"Tentu pengakuan tidak perlu dengan suatu pernyataan tapi cukup dengan adanya jalinan kerjasama. Semisal kalau ada meeting negara anggota ASEAN maka yang diundang dan hadir adalah pemerintahan yang melakukan kudeta. Itu artinya sudah ada pengakuan terhadap pemerintahan baru di Myanmar," jelas Hikmahanto.

Menurutnya, Indonesia harus membiarkan pemerintahan kudeta melakukan konsolidasi. Tentu ini yang tidak akan dilakukan oleh negara-negara seperti Amerika, Australia, dan Inggris. Mereka akan mengecam tindakan pemerintahan kudeta karena peralihan kekuasaan tidak dilakukan secara demokratis.

"Tentu kalau nanti ada perlawanan dari masyarakat Myanmar dan akhirnya Suu Kyi berkuasa lagi ini akan beda cerita. Tapi kalau kudeta oleh militer yang menggunakan senjata maka yang bisa menekan agar Suu Ki kembali adalah masyarakat internasional. Mereka misalnya bisa lakukan embargo ke Myanmar bila pemerintahan kudeta tidak segera mengembalikan kekuasaan ke Syu Kyi.

Proses ini, lanjut dia, akan banyak mengalami kendala karena dunia sedang berkonsentrasi untuk menangani pandemi COVID-19.

Pengamat Politik Asia Tenggara, Sudarnoto Hakim mengatakan, bahwa sejatinya Indonesia tidak bisa banyak ikut campur terkait masalah dalam negeri Myanmar. Namun sebagai warga dunia yang mendambakan perdamaian dan ketenangan, tentu Indonesia ikut menyesalkan hal ini. Terlebih, kejadian semacam ini bukan kali pertama di mana kelompok militer melakukan kudeta terhadap pemerintahan dan memimpin dengan cara otoriter. 

"Dalam konteks politik luar negeri, saya sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Menlu Retno bahwa proses atau masalah yang terjadi di dalam negeri bisa diselesaikan dengan menghormati hak asasi dan hukum seperti tertulis di piagam ASEAN," ujar Sudarnoto kepada Liputan6.com. 

Walaupun isu kudeta militer menjadi masalah dalam negeri Myanmar, salah satu hal yang harus menjadi perhatian negara tetangga adalah akibat yang mungkin akan terjadi usai kudeta. 

"Di bawah kepemimpinan darurat ala militer, tentu saja kepemimpinannya akan berbeda dengan pemerintahan sipil dan saya kira seperti banyak orang yang mengatakan bahwa ini merupakan kemunduran demokrasi di Myanmar yang sebetulnya sudah dimulai," tambah Sudarnoto lagi. 

Prinsip politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif membuat Indonesia tidak bisa mencampuri hal ini lebih jauh lagi. Namun Sudarnoto menilai bahwa penting bagi Indonesia untuk memberi peringatan agar proses politik di Myanmar harus tetap menghargai demokrasi dan hak asasi manusia supaya ada jaminan keamanan dan harmoni di kalangan negara ASEAN. 

"Tetap penting untuk Indonesia, mendorong negara-negara termasuk PBB untuk memberi peringatan kepada Myanmar," Sudarnoto memungkasi.

3 dari 4 halaman

Bukan Kudeta Pertama

Kudeta militer telah terjadi di Myanmar usai pihak militer melakukan penangkapan atas sejumlah tokoh politik termasuk Aung San Suu Kyi, Presiden Wyn Myint dan tokoh politik lain. Rupanya, hal semacam ini bukan yang pertama kali terjadi di Myanmar.

Menengok garis sejarah Myanmar, kudeta militer besar pernah terjadi pada 1962 silam. 

Tanggal 2 Maret 1962, menjadi tanda awal pemerintahan satu partai dan dominasi politik tentara di Burma (kini dikenal Myanmar) yang kemudian berlangsung selama 26 tahun. Dalam kudeta tersebut, militer menggantikan pemerintah sipil AFPFL yang dipimpin Perdana Menteri U Nu, dengan Dewan Revolusi Persatuan, yang diketuai Jenderal Ne Win.

Dalam 12 tahun pertama setelah kudeta, negara itu diperintah di bawah darurat militer dan mengalami perluasan yang signifikan dalam peran militer dalam ekonomi nasional, politik, dan birokrasi negara.

Menyusul konstitusi 1974, Dewan Revolusi menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah terpilih, yang terdiri dari satu partai yakni Partai Program Sosialis Burma. Partai itu telah didirikan dewan tersebut pada 1962.

Pemerintah terpilih merupakan campuran antara sipil dan militer, sampai 18 September 1988, ketika militer kembali mengambil alih kekuasaan sebagai Dewan Pemulihan Hukum dan Ketertiban Negara (kemudian berganti nama menjadi Dewan Perdamaian dan Pembangunan Negara) menyusul Pemberontakan 8888 nasional dan kehancuran nyata rezim sosialis. 

Militer Myanmar pun tetap berkuasa selama 23 tahun sampai 2011, ketika dipindahkan ke Partai Solidaritas dan Pembangunan Uni.

Ada berbagai penjelasan mengapa militer yang dipimpin oleh Ne Win, melakukan kudeta militer kurang dari dua tahun setelah mengakui otoritas pemerintah sipil.

Menurut sejarawan, alasannya adalah bahwa kudeta tersebut merupakan tanggapan atas ketakutan yang berkembang di dalam angkatan bersenjata bahwa Uni Burma sedang menuju disintegrasi di bawah Pemerintahan AFPFL.

Penjelasan ini selaras dengan penjelasan yang diberikan oleh tentara dalam siaran pers resmi setelah kudeta. 

Pada tahun 1962, integritas negara dipandang terancam oleh dua kelompok minoritas, Shan dan Kayah, yang mengklaim hak mereka, yang diberikan oleh konstitusi 1947 untuk mundur dari Persatuan. 

Di atas semua ini, para pemimpin Shan mulai membentuk oposisi bersenjata melawan Yangon untuk menuntut "tekad nasional" Shan.

Tentara dan Ne Win memandangnya sebagai tanggung jawab mereka untuk melindungi kohesi Persatuan dan dalam siaran pers resmi kudeta disajikan sebagai suatu kebutuhan karena kebijakan pemerintah AFPFL. Yang paling bermasalah adalah upaya U Nu untuk membuat agama Buddhaagama negara, karena berkontribusi pada motivasi minoritas Kristen untuk memperjuangkan otonomi. 

Lebih jauh, tentara percaya bahwa sistem federal dan pemerintahan bergaya parlemen pada dasarnya lemah dan mendorong otonomi daerah. Banyaknya suara yang diwakili di parlemen dipandang menimbulkan ketidakstabilan dan meningkatkan perbedaan etnis yang akan menjatuhkan Union. 

Oleh karena itu, pihak Angkatan Darat berpendapat bahwa diperlukan pemerintahan pusat yang kuat untuk mengamankan integrasi bangsa. 

Selanjutnya, aturan militer membenarkan penghapusan sistem politik dengan mengatakan bahwa demokrasi multi-partai melayani orang kaya di masyarakat dengan terbuka bagi politisi yang mewakili kapitalis dan tuan tanah. 

Kritik terhadap sistem politik ini berfungsi baik sebagai alasan untuk melakukan kudeta tetapi juga sebagai pembenaran struktur dan kebijakan negara yang diterapkan di tahun-tahun berikutnya.

4 dari 4 halaman

Sosok di Balik Kudeta Militer Myanmar

Panglima militer Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing, menjadi sorotan setelah politikus dari partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang berkuasa --salah satunya Aung San Suu Kyi-- ditahan. Militer Myanmar juga mengumumkan akan mengambil alih kekuasaan atau kudeta.

Militer Myanmar terkenal tertutup dan bahkan pengamat yang canggih hanya tahu sedikit tentang cara kerjanya, demikian dikutip dari laman Channel News Asia, Senin (1/2/2021).

Berikut adalah beberapa fakta tentang kepemimpinan dan peran abadi militer Myanmae dalam sistem politik:

Peran Militer Dalam Politik

Militer memerintah secara langsung selama hampir 50 tahun setelah kudeta tahun 1962 dan telah lama menganggap perannya sebagai penjaga persatuan nasional.

Sebagai perancang konstitusi Myanmar tahun 2008, militer mengabadikan peran permanen dirinya dalam sistem politik. Militer mendapat kuota tak terpilih sebesar 25 persen kursi parlemen dan ketuanya menunjuk menteri pertahanan, dalam negeri dan perbatasan, serta memastikan kepentingan utama dalam politik, yang telah membuat pengaturan pembagian kekuasaan yang 'canggung' dengan NLD.

Banyak anggota partai, termasuk pemimpin Aung San Suu Kyi, selama bertahun-tahun mengalami permasalahan karena menentang mantan junta Myanmar.

Lamban Tapi Pasti

Min Aung Hlaing (64) menjauhi aktivisme politik yang tersebar luas pada saat ia belajar hukum di Universitas Yangon pada 1972-1974.

"Dia orang yang tidak banyak bicara dan biasanya tidak menonjolkan diri," kata seorang teman sekelasnya.

Sementara sesama siswa bergabung dengan demonstrasi, Min Aung Hlaing membuat aplikasi tahunan untuk bergabung dengan universitas militer utama, Akademi Layanan Pertahanan (DSA), berhasil pada upaya ketiganya pada tahun 1974.

Menurut seorang anggota kelas DSA-nya, yang masih bertemu dengan panglima militer pada reuni kelas tahunan, mengatakan dia adalah seorang kadet biasa.

"Dia dipromosikan secara teratur tapi lambat," kata teman sekelasnya, menambahkan bahwa dia terkejut melihat Min Aung Hlaing naik melebihi pangkat menengah korps perwira.

Dari Tentara hingga Politikus

Min Aung Hlaing mengambil alih dan menjalankan militer pada 2011 saat transisi menuju demokrasi dimulai.

Para diplomat di Yangon mengatakan bahwa dengan dimulainya masa jabatan pertama Suu Kyi pada tahun 2016, Min Aung Hlaing telah mengubah dirinya dari tentara pendiam menjadi politikus dan tokoh masyarakat.

Pengamat mencatat penggunaan Facebook untuk mempublikasikan kegiatan dan pertemuan dengan pejabat dan kunjungan ke biara.

Profil resminya menarik ratusan ribu pengikut sebelum diturunkan setelah serangan militer terhadap minoritas Muslim Rohingya pada 2017.

Min Aung Hlaing mempelajari transisi politik lainnya, kata para diplomat dan pengamat dan telah membuat banyak kebutuhan untuk menghindari kekacauan yang terlihat di Libya dan negara-negara Timur Tengah setelah perubahan rezim pada tahun 2011.

Panglima Tertinggi tidak pernah menunjukkan tanda apa pun bahwa dia siap menyerahkan 25 persen kursi militer di parlemen atau mengizinkan perubahan apa pun pada klausul dalam konstitusi yang melarang Suu Kyi menjadi presiden.

Keluhan baru-baru disampaikan oleh militer Myanmar tentang ketidakberesan dalam pemilihan umum 8 November 2020 yang memberikan kemenangan besar bagi partai Suu Kyi.

Min Aung Hlaing memperpanjang masa jabatannya di pucuk pimpinan militer selama lima tahun lagi pada Februari 2016, sebuah langkah yang mengejutkan para pengamat yang mengharapkan dia untuk mundur tahun itu. 

Sanksi

Tindakan keras militer tahun 2017 di Myanmar mendorong lebih dari 730.000 Muslim Rohingya ke negara tetangga Bangladesh.

Penyelidik PBB mengatakan, operasi militer Myanmar termasuk pembunuhan massal, pemerkosaan dan pembakaran luas dilakukan dengan "niat genosida".

Sebagai tanggapan, Amerika Serikat menjatuhkan sanksi terhadap Min Aung Hlaing dan tiga pemimpin militer lainnya pada tahun 2019 dan beberapa kasus pengadilan di berbagai pengadilan internasional, termasuk Mahkamah Internasional.

Juga pada 2019, penyelidik PBB mendesak para pemimpin dunia untuk menjatuhkan sanksi keuangan yang ditargetkan pada perusahaan yang terkait dengan militer.