Liputan6.com, London- Menteri Penyebaran Vaksin di Inggris, Nadhim Zahawi mengatakan bahwa saat ini ada sekitar 4.000 varian Virus Corona yang menyebabkan COVID-19 di seluruh dunia.
Hal itu membuat semua produsen vaksin COVID-19, termasuk Pfizer dan AstraZeneca berusaha meningkatkan kualitas vaksin mereka.Â
Baca Juga
Ribuan varian jenis Virus Corona yang menyebabkan COVID-19 telah didokumentasikan saat virus tersebut bermutasi, termasuk yang disebut varian dari Inggris, Afrika Selatan, dan Brasil yang tampaknya menyebar lebih cepat daripada yang lain.
Advertisement
"Sangat kecil kemungkinannya bahwa vaksin saat ini tidak akan efektif pada varian di Kent atau varian lain terutama dalam hal penyakit parah dan rawat inap," kata Nadhim Zahawi kepada Sky News, seperti dikutip dari Channel News Asia, Kamis (4/2/2021).Â
Dipaparkannya, bahwa "Semua produsen (vaksin), Pfizer-BioNTech, Moderna, Oxford-AstraZeneca dan lainnya sedang mencari cara bagaimana mereka dapat meningkatkan vaksin mereka untuk memastikan bahwa kami siap untuk varian apa pun - saat ini ada sekitar 4.000 varian COVID-19 di seluruh dunia."
Â
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Saksikan Video Berikut Ini:
Upaya Meningkatkan Kualitas Vaksin
Sementara itu, menurut British Medical Journal, walaupun ribuan varian replikasi telah muncul ketika virus bermutasi, namun hanya sedikit yang kemungkinan besar dapat mengubah virus secara besar.
"Kami memiliki industri pengurutan genom terbesar - kami memiliki sekitar 50 persen dari industri pengurutan genom dunia - dan kami menyimpan perpustakaan dari semua varian sehingga kami siap untuk merespons - baik di musim gugur atau sesudahnya - untuk tantangan apa pun agar virus dapat muncul dan menghasilkan vaksin berikutnya," jelas Nadhim Zahawi.
Virus Corona - yang dikenal oleh para ilmuwan sebagai SARS-CoV-2 - saat ini telah menelan banyak korban jiwa di seluruh dunia sejak pertama kali muncul di China pada akhir 2019, menurut data dari Johns Hopkins University of Medicine.
Advertisement