, Darwin - Peternak di Australia kaget karena harga ekspor daging sapi ke Indonesia naik mencetak rekor, meski ada pandemi COVID-19. Mereka pun mengantisipasi keuntungan.Â
Dilaporkan ABC Australia, Kamis (11/2/2021), sapi jantan muda ke Indonesia yang hendak dikirim dari Pelabuhan di Darwin sekarang harganya mencapai AU$ 4,30, atau lebih dari Rp 46 ribu, per kilogramnya.
Harga tersebut menjadi rekor tertinggi untuk harga ekspor hewan ternak hidup yang pernah tercatat.
Advertisement
Baca Juga
Pasokan sapi ternak di Kawasan Australia Utara saat ini sangat terbatas, salah satunya adalah akibat musim hujan.
"Saat musim hujan seperti ini, bukanlah hal yang aneh jika harganya tinggi," ujar Scott Riggs, salah satu peternak dari daerah Katherine di Kawasan Australia Utara.
"Tetapi harga setinggi ini belum pernah terlihat sebelumnya," jelasnya."Sehingga menjadi sulit bagi eksportir untuk bisa mengamankan dan menjamin hewan ternak tersedia."
Namun Scott mengatakan akan ada permintaan yang tinggi dari Indonesia menjelang Ramadan, yang diperkirakan akan dimulai pada pertengahan April.
"Ini adalah keuntungan terbesar, tidak ada keraguan tentang itu," kata Scott.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Penjual Sapi Sempat Mogok Jualan di Indonesia
Pada Januari 2021, pedagang daging sapi di wilayah Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jadetabek) sempat mogok sementara karena protes harga daging sapi yang tinggi sejak pertengahan tahun lalu.
"Kenaikan harga terjadi sejak Juli 2020 sampai dengan Januari 2021 sudah mencapai Rp 13 ribu per kg pembelian sapi bakalan dari Australia," jelas ketua Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI) Asnawi dalam pesan tertulis, Rabu 20 Januari 2021.
Sejumlah eksportir sapi ternak dari Australia mengaku ada ketidakpastian apakah Indonesia akan dapat menjadi pangsa pasar yang berkelanjutan bagi mereka dalam waktu 12-18 bulan ke depan.
Seperti yang dikatakan oleh ketua Asosiasi Eksportir Ternak di Australia Barat, John Cunnington.
"Saya khawatir soal Indonesia," kata John, seperti yang dikutip dari media Farm Weekly yang berbasis di Australia Barat.
"Mereka membayar harga yang tidak bisa bertahan saat ini, hanya bisa mencapai titik impas dalam perdagangan atau bahkan merugi," ujarnya.
Advertisement