Sukses

Militer Myanmar Ancam Demonstran Tolak Kudeta Dipenjara 20 Tahun

Militer Myanmar memberi ancaman bagi pendemo dengan 20 tahun penjara.

Liputan6.com, Nay Pyi Taw - Setelah melakukan kudeta militer terhadap Aung San Suu Kyi, militer Myanmar mengeluarkan ancaman bagi pendemo anti-kudeta. Hukuman 20 tahun penjara berlaku bagi mereka yang menghalang angkatan bersenjata.

Hukuman penjara dan denda juga akan diterapkan pada orang-orang yang dianggap menebar kebencian terhadap para pemimpin kudeta.

Dilansir BBC, Senin (15/2/2021), aturan hukum itu diumumkan sementara militer mengerahkan kendaraan-kenderaan lapis baja di beberapa kota di Myanmar.

Sejak kudeta 1 Februari, gelombang protes masyarakat Myanmar terus terjadi. Peserta demonstrasi berasal dari generasi muda dan tua yang menolak kudeta militer, serta menuntut agar Aung San Suu Kyi dibebaskan.

Militer melakukan kudeta karena tidak mampu mengaku kalah saat pemilihan umum pada November 2020. Mereka berkata akan berkuasa selama setahun.

Kondisi Suu Kyi masih ditahan dan direncanakan baru bebas pada 17 Februari mendatang. Ia akan disidang secara online di Nay Pyi Taw.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 3 halaman

Koneksi Internet di Myanmar Hampir Mati Total

Myanmar menghentikan layanan Internet dan mengerahkan pasukan di seluruh negeri pada Senin (15/2/2021) sebagai tanda-tanda penumpasan yang dikhawatirkan terhadap protes anti-kudeta, beberapa jam setelah pasukan keamanan menembak untuk membubarkan demonstrasi di utara negara itu.

Pemerintah militer telah meningkatkan upaya untuk memadamkan kampanye pembangkangan sipil yang sedang berkembang, yang menuntut kembalinya pemimpin negara yang digulingkan Aung San Suu Kyi, sebagaimana mengutip laman Channel News Asia. 

Pemblokiran akses internet pada hari Senin dan permintaan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) agar pengamat diizinkan masuk segera setelah gambar streaming langsung yang dibagikan di platform media sosial menunjukkan kendaraan militer dan tentara bergerak melalui beberapa bagian negara.

Kelompok pemantau NetBlocks mengatakan "pemadaman informasi yang diperintahkan negara" telah membuat Myanmar hampir seluruhnya berstatus offline.

Pasukan di Myitkyina menembakkan gas air mata, kemudian menembaki kerumunan yang berkumpul di kota bagian utara untuk menghentikan rumor pemadaman jaringan listrik.

3 dari 3 halaman

Respons Negara Barat

Pernyataan bersama dari duta besar AS, Inggris dan Uni Eropa mendesak pasukan keamanan untuk tidak membahayakan warga sipil.

"Kami menyerukan pasukan keamanan untuk menahan diri dari kekerasan terhadap demonstran, yang memprotes penggulingan pemerintah sah mereka," kata mereka.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menggemakan seruan itu, mendorong pihak berwenang untuk "memastikan hak berkumpul secara damai sepenuhnya dihormati dan para demonstran tidak dikenakan pembalasan".

Melalui juru bicaranya, Guterres juga meminta militer untuk "segera" mengizinkan diplomat Swiss Christine Schraner Burgener mengunjungi Myanmar "untuk menilai situasi secara langsung".