Liputan6.com, D.C - Setelah keluar pada 2017, Amerika Serikat resmi kembali bergabung dalam perjanjian iklim Paris, Jumat (19/2).
Kembalinya AS ke Perjanjian Paris membangkitkan semangat dunia dalam menanggulangi dampak perubahan iklim mengingat Presiden AS Joe Biden berencana mengurangi tingkat emisi di negaranya sampai 30 tahun ke depan.
Para ilmuwan dan diplomat asing menyambut baik keputusan AS kembali ke Perjanjian Iklim Paris. Biden, pada hari pertamanya menjabat sebagai presiden, menginstruksikan jajarannya agar AS kembali ke perjanjian tersebut.
Advertisement
Dari hampir 200 negara yang bergabung dalam perjanjian iklim Paris, hanya AS yang pernah keluar. Donald Trump, pendahulu Biden, menyebut ongkos untuk menanggulangi dampak perubahan iklim terlalu besar.
Baca Juga
Utusan AS untuk perubahan iklim, John Kerry, mengatakan AS akan berusaha mengganti seluruh waktu yang hilang setelah Trump mengeluarkan negara itu dari Perjanjian Paris.
Pernyataan itu disampaikan Kerry dalam sebuah acara virtual yang dihadiri oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres.
"Kami merasa bertanggung jawab untuk bekerja lembur demi mengejar ketertinggalan. Banyak hal yang harus kami kerjakan," kata Kerry pada acara itu sebagaimana diwartakan Reuters, dikutip dari Antara, Minggu (21/2/2021).
Biden menargetkan AS bebas emisi atau gas buang rumah kaca pada 2050. Para ilmuwan menyebut target itu sejalan dengan kebutuhan. Mereka menegaskan kadar emisi dunia harus turun sampai setengahnya pada pertengahan 2030 demi mencegah dampak pemanasan global yang merusak.
Kerry bersama penasihat iklim dalam negeri Biden, Gina McCarthy, jadi ujung tombak pemerintah Amerika Serikat untuk mengurusi isu iklim, termasuk mengoordinasi aturan dan penyaluran insentif di dalam dan luar negeri demi mempercepat peralihan dari bahan bakar fosil ke energi bersih.
Simak video pilihan berikut:
Perintah Eksekutif Joe Biden
Biden juga telah menandatangani belasan perintah eksekutif terkait isu perubahan iklim. Ia juga meminta seluruh badan dan lembaga di tingkat pemerintah federal untuk menjalankan perintah presiden.
Berbagai instruksi itu akan jadi dasar rencana pengurangan emisi di AS, atau yang disebut dengan Target Kontribusi Nasional (NDC) sampai 2030. AS akan mengumumkan target pengurangan emisinya pada 22 April saat Biden menjadi tuan rumah pertemuan para pemimpin asing untuk membahas isu iklim pada 22 April 2021.
Konferensi iklim PBB berikutnya akan digelar pada November 2021 di Glasgow, Skotlandia.
Kerry memang belum mengumumkan besaran NDC AS, tetapi ia menyebut jumlahnya akan cukup besar. Angka itu akan jadi cara kembali mendapatkan legitimasi di Perjanjian Paris.
Tidak hanya itu, Kerry mengatakan AS berencana mengajak China bergabung dalam perundingan iklim, meskipun keduanya masih memiliki banyak perbedaan sikap terkait hak asasi manusia dan perdagangan.
Duta Besar Inggris untuk Amerika Serikat Karen Pierce, yang menghadiri acara virtual, mengatakan, "China dapat menjadi mitra yang membantu" upaya dunia menanggulangi dampak perubahan iklim.
Ia berpendapat "China dan Rusia kerap menjadikan semuanya seperti kompetisi".
Pierce mengatakan aksi AS itu seharusnya dapat mempererat koordinasi antara AS, Uni Eropa, dan Inggris.
"Semakin dekat hubungan kita dalam mengatasi dampak perubahan iklim, kita dapat menunjukkan kepada dunia bahwa mereka dapat bergabung dan ikut dalam usaha menurunkan dampak pemanasan global," ujarnya.
Di tengah berbagai respons positif terkait kembalinya AS ke Perjanjian Paris, beberapa diplomat mengatakan jalan Amerika Serikat ke depan tidak akan mudah. Rencana Biden mengurangi emisi akan menghadapi tantangan dari perusahaan-perusahaan yang memproduksi bahan bakar fosil.
Beberapa negara juga khawatir AS tidak akan konsisten dalam menjalankan misinya menanggulangi dampak perubahan iklim.
Sekjen PBB Guterres menyambut baik keputusan AS kembali ke Perjanjian Paris. Ia menyebut langkah itu akan memulihkan kembali "hilangnya ikatan yang melemahkan seluruh upaya" dunia.
Namun, ia memperingatkan jalan ke depan tidak akan mudah.
"Ini adalah pertarungan seumur hidup kita," kata Guterres. "Kita harus melangkah lebih cepat dan lebih jauh," ujar dia menambahkan.
Advertisement