Liputan6.com, Jakarta - Total kasus COVID-19 di dunia mencapai 111 juta kasus di seluruh dunia. Kasus tertinggi masih berasa di Amerika Serikat.
Berdasarkan data Johns Hopkins University, Senin (22/2/2021), kasus harian di dunia pada Februari ini mulai turun. Puncak kasus harian tertinggi terjadi pada 10 Desember 2021 dengan nyaris 1,5 juta kasus, sementara pada 20 Februari 2021 hanya di kisaran 340 ribu.
Advertisement
Baca Juga
Meski demikian, WHO dan pakar kesehatan masih memilih berhati-hati dalam mengambil kebijakan terkait COVID-19.
Berikut lima negara dengan kasus COVID-19 tertinggi:
1. Amerika Serikat: 28,1 juta kasus
2. India: 10,9 juta
3. Brasil: 10,1 juta
4. Inggris: 4,12 juta
5. Rusia: 4,11 juta
Jumlah kematian di seluruh dunia akibat COVID-19 mencapai 2,4 juta. AS mencatat jumlah kematian tertinggi, yakni 498 ribu kasus.
Posisi Indonesia masih berada di nomor 18 dunia dengan 1,2 juta. Posisi Indonesia berada di antara Ukraina (1,35 juta) dan Peru (1,27 juta).
Program vaksinasi di seluruh dunia semakin marak. Vaksin Pfizer telah tiba di Jepang dan Australia untuk digunakan. Australia mulai vaksinasi hari ini.
Â
Â
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Juru Wabah UI Minta Menkes Budi Gunadi Setop Vaksin Nusantara
Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Pandu Riono, yang akrab dipanggil Juru Wabah meminta Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin menghentikan Vaksin Nusantara. Hal ini demi kepentingan kesehatan masyarakat Indonesia.
Vaksin Nusantara diinisiasi mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Dikabarkan vaksin ini sedang memulai tahap uji klinis kedua di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dokter Kariadi Semarang pada Selasa, 16 Februari 2021.Â
Penelitian Vaksin Nusantara dilaksanakan di RS Kariadi Semarang bekerjasama dengan RSPAD Gatot Subroto dan Badan Litbang Kementerian Kesehatan.
"Itu kan menggunakan anggaran pemerintah (Kementerian Kesehatan) atas kuasa Pak Terawan sewaktu menjabat Menkes," tegas Pandu melalui rilis yang diterima Health Liputan6.com pada Sabtu, 20 Februari 2021.
Pandu berpandangan, Vaksin Nusantara yang mengandung vaksin dendritik (sel imun yang memproduksi antibodi), sebelumnya banyak digunakan untuk terapi (imunoterapi) pada pasien kanker dan bersifat individual. Imunoterapi kanker bukan karena setiap orang diberi jumlah sel dendritik, namun setiap orang sel dendritiknya bisa mendapat perlakuan yang berbeda.
"Jadi, pada imunoterapi kanker sel dendritik tetap diberi antigen, tetapi antigennya bisa dari tumornya dia sendiri. Karena itu sifatnya personal," lanjutnya.
Advertisement
Sel Dendritik Vaksin Nusantara Tak Layak Dijadikan Vaksinasi Massal
Pandu pun memberikan dua catatan terkait sel dendritik yang menjadi bahan pembuat Vaksin Nusantara. Pertama, membandingkan perbedaan sel dendritik pada terapi kanker dengan vaksin dendritik.
Bahwa untuk terapi kanker sel dendritik tidak ditambahkan apa-apa, hanya diisolasi dari darah pasien, kemudian disuntikkan kembali kepada pasien tersebut.
"Sementara, pada vaksin, sel dendritik ditambahkan antigen virus," jelas Pandu.
Kedua, sel dendritik perlu pelayanan medis khusus karena membutuhkan peralatan canggih, ruang steril, dan inkubator CO2. Ada juga kekhawatiran terhadap potensi risiko, antara lain sterilitas, pirogen (ikutnya mikroba yang menyebabkan infeksi), dan tidak terstandar potensi vaksin karena ditujukan pembuatan individual.
"Sebenarnya sel dendritik untuk terapi bersifat individual, dikembangkan sebagai terapi kanker. Sehingga tidak layak untuk vaksinasi massal," pungkas Pandu.
Infografis COVID-19:
Advertisement