Liputan6.com, Yangon - Keluarga dari puluhan orang yang tewas dalam demonstrasi menentang kekuasaan militer di Myanmar mengadakan pemakaman untuk orang yang mereka cintai. Selama demonstrasi terjadi, banyak pengunjuk rasa yang menentang pasukan keamanan dan setidaknya satu pria ditembak mati.
Pada Selasa 16 Maret, sebuah krematorium di Yangon melaporkan 31 pemakaman, kata seorang pelayat di salah satu upacara tersebut, seperti mengutip laman Channel News Asia, Rabu (17/3/2021).
Advertisement
Ratusan pelayat muda tumpah ke jalan di pemakaman mahasiswa kedokteran Khant Nyar Hein yang terbunuh di Yangon, Myanmar pada hari Minggu, hari paling berdarah dari protes itu.
"Biarkan mereka membunuh saya sekarang, biarkan mereka membunuh saya alih-alih anak saya karena saya tidak tahan lagi," kata ibu siswa itu dalam klip video yang diposting di Facebook.
Para pelayat meneriakkan: "Revolusi kita harus menang."
Pasukan militer telah menembak mati sedikitnya 20 orang pada Senin (15/3) setelah 74 orang tewas sehari sebelumnya, termasuk banyak di pinggiran kota Yangon di mana pabrik-pabrik yang didanai China dibakar, menurut kelompok advokasi Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP).
Sementara itu, badan pangan PBB juga memperingatkan bahwa krisis politik dan ekonomi atas penggulingan yang terjadi pada 1 Februari dari pemerintah terpilih yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi bisa segera berarti kelaparan bagi orang miskin yang menghadapi kenaikan harga pangan dan bahan bakar di seluruh negeri.
Saksikan Video Menarik Berikut Ini:
Militer Sita Jasad Korban
Beberapa keluarga mengatakan kepada media bahwa pasukan keamanan telah menyita jasad dari orang yang mereka cintai tetapi mereka masih akan mengadakan pemakaman.
Sedikitnya 184 orang telah tewas oleh pasukan keamanan dalam beberapa pekan protes, kata AAPP, dengan jumlah korban meningkat pada Selasa ketika seorang pengunjuk rasa ditembak mati di pusat kota Kawlin, kata seorang penduduk di sana.
Orang-orang mengangkat foto Suu Kyi dan menyerukan diakhirinya penindasan selama protes kecil di kota selatan Dawei pada hari Selasa, outlet media Dawei Watch melaporkan.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres terkejut dengan meningkatnya kekerasan di tangan militer dan meminta komunitas internasional untuk membantu mengakhiri penindasan, kata juru bicaranya.
Seorang juru bicara junta tidak menjawab panggilan telepon untuk dimintai komentar terkait hal ini.
Advertisement