Sukses

Human Rights Watch: Darurat Militer Bunuh Pengadilan yang Adil di Myanmar

Human Rights Watch (HRW) mengecam darurat militer di Myanmar.

Liputan6.com, Yangon - Human Rights Watch (HRW) menyampaikan kecaman keras pada junta militer Myanmar yang menerapkan darurat militer (martial law) di 11 kota di daerah Yangon dan Mandalay. Darurat militer itu dinilai sebagai kematian pengadilan yang adil (fair trial).

Perintah darurat militer Myanmar itu dikeluarkan usai bentrokan berdarah Minggu (14/3). Peristiwa itu menewaskan setidaknya 74 orang dan sejumlah pabrik milik China dibakar.

State Administration Council (SAC) yang dikuasai militer langsung melimpahkan kekuatan eksekutif dan yudisial kepada komandan militer regional di Yangon dan Mandalay.

Penasihat Hukum HRW di Asia, Linda Lakhdhir, berkata kebijakan tersebut bisa digunakan untuk mempersekusi pendemo damai dan jurnalis yang disidang militer. Hak untuk banding juga terdampak.

"Tribunal militer di Myanmar memiliki memiliki sejarah yang panjang dan bermasalah. Pengadilan-pengadilannya di masa lalu biasanya dilaksanakan di belakang pintu tertutup, di dalam penjara utama Yangon, di mana aturan-aturan bukti dan prosedur yang ada di pengadilan sipil tidak berlaku," ujar Lakhdhir dalam situs resmi HRW, dikutip Rabu (17/3/2021).

"Mereka yang diadili pada pengadilan militer hampir pasti didakwa, terlepas dari validitas tuduhan-tuduhan terhadap mereka, dan pengadilan-pengadilan itu terlaksana di luar pemeriksaan publik atau komunitas internasional," jelas Lakhdhir.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 4 halaman

Hukuman Lebih Berat

Linda Lakhdhir berkata bahwa hukuman di pengadilan militer bisa lebih berat ketimbang pengadilan sipil. Perintah Darurat Militer di Myanmar menjelaskan bahwa terdakwa bisa terkena hukuman seperti hukuman mati, serta penjara sambil kerja berat tanpa batas waktu yang jelas.

"Semua keputusan tribunal adalah 'final', artinya tidak ada ruang untuk banding keputusan, vonis, atau proses pengadilan. Satu-satunya pengecualian terkait vonis mati," jelas Lakhdhir.

Pengambil keputusan tertinggi adalah Jenderal Min Aung Hlaing yang memimpin SAC. HRW mengingatkan bahwa Jenderal Min sedang disanksi oleh Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Inggris.

HRW menegaskan bahwa tribunal militer di Myanmar tidak akan membawa keadilan.

3 dari 4 halaman

Pelapor Khusus PBB Minta Junta Militer Dipenjara

Pelapor khusus PBB (special rapporteur) Tom Andrews mengungkap rasa sedihnya karena bertambahnya rakyat sipil yang menjadi korban demonstrasi berdarah di Myanmar. Ia dengan tegas berkata bahwa junta militer harusnya di penjara.

"Pemimpin junta harusnya tidak berada pada kekuasaan, mereka mestinya berada di balik jeruji besi," ujar Andrews seperti dilaporkan UN News. 

Andrews menyarankan anggota-anggota PBB agar Myanmar dijerat dengan sanksi yang berdampak pada keuangan dan persenjataan mereka.

Sebelumnya, mantan anggota DPR AS ini berkata tindakan junta militer sudah menjurus menuju kejahatan terhadap kemanusiaan.

Berdasarkan data Myanmar Spring Revolution, jumlah kematian diestimasi mencapai 200 orang. Sebanyak 185 orang akibat tembakan senjata api.

Korban melonjak pada 14 Maret lalu dengan 74 orang tewas. Angka kematian tertinggi berada di Hlaingtharya (Hlaing Tharyar) yang berada di Yangon

4 dari 4 halaman

Infografis Kudeta Militer Myanmar: