Liputan6.com, Jakarta- Kabar meninggalnya penulis feminis terkemuka asal Mesir, Nawal El Saadawi mendatangkan duka pada komunitas-komunitas feminisme di dunia. Pembela hak-hak perempuan itu diketahui pernah dipenjara dan dianiaya serta menerima ancaman dari kaum konservatif sepanjang hidupnya, hanya karena pandangannya yang berani.
Dilansir CNN dari surat kabar pemerintah Mesir, Al Ahram, Senin (22/3/2021)  El Saadawi adalah pendiri dan presiden dari Asosiasi Solidaritas Perempuan Arab dan salah satu pendiri Asosiasi Arab untuk Hak Asasi Manusia.
Pada tahun 1981, El Saadawi mendirikan majalah feminis bernama Al-Moawgaha (yang diterjemahkan menjadi "The Confrontation").
Advertisement
Adapun buku yang ditulis olehnya yang paling populer yaitu Women & Sex dan Memoirs from a Women's Prison.
Buku Women & Sex dilarang di Mesir selama hampir dua dekade dan setelah diterbitkan, El Saadawi kehilangan pekerjaannya sebagai Direktur Kesehatan Masyarakat di Kementerian Kesehatan di Mesir.
"Perempuan tidak bisa dibebaskan dalam masyarakat kelas atau masyarakat patriarkal yang didominasi laki-laki. Inilah sebabnya kita harus menghapuskannya, melawan penindasan kelas, penindasan gender, dan penindasan keagamaan," kata El Saadawi kepada CNN dalam sebuah wawancara pada tahun 2011.
"Kita tidak bisa bicara tentang revolusi tanpa perempuan," pungkasnya.
Â
Saksikan Video Berikut Ini:
Masa Tahanan Menjadi Inspirasi untuk Berkarya
Dikutip dari AFP, Waktu yang El Saadawi habiskan di penjara wanita Qanatir, menjadi inspirasi untuk karya sastranya yang berjudul Women at Point Zero. Karyanya yang lain yang berjudul Three taboos: sex, religion and power menghidupkan intelektualnya, yang El Saadawi pernah sampaikan kepada AFP.
Dia juga menjadi sasaran kelompok militan.
Nama El Saadawi pernah berada dalam daftar kematian termasuk pemenang Nobel sastra Mesir, Naguib Mahfouz, yang ditikam dan terluka dalam upaya pembunuhan pada tahun 1994.
“Penolakan untuk mengkritik agama ... Ini bukan liberalisme. Ini adalah penyensoran," tegas El Saadawi kepada The Guardian.
Pada 1993, karena ancaman, El Saadawi pindah ke Universitas Duke di negara bagian Carolina Utara Amerika Serikat, di mana dia menjadi penulis di departemen bahasa Asia dan Afrika selama tiga tahun.
El Saadawi kemudian kembali ke Mesir dan pada tahun 2005 dan mencalonkan diri sebagai presiden tetapi membatalkan pencalonannya setelah menuduh pasukan keamanan tidak membiarkan dia mengadakan kampanye.
Pada 2007, ia menghadapi kecaman oleh Al-Azhar karena karyanya God Resigns at the Summit Meeting dengan tuduhan bahwa drama tersebut menghina Islam. Ia kemudian meninggalkan Mesir lagi, dan kembali dua tahun kemudian.
El Saadawi, yang memiliki dua anak, pada masa hidupnya, pernah mengatakan: "Saya bisa menggambarkan hidup saya sebagai kehidupan yang mengabdikan diri untuk menulis, meskipun saya seorang dokter. Terlepas dari semua rintangan, saya terus menulis."
Â
Advertisement