Liputan6.com, Yangon - Myanmar diguncang oleh protes anti-kudeta militer hampir setiap hari sejak tentara menggulingkan pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi.
Aung San Suu Kyi yang memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1991 atas kampanyenya untuk membawa pemerintahan sipil yang demokratis ke Myanmar, dan anggota Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) lainnya telah ditahan.
Lebih dari 300 orang telah tewas dalam tindakan keras dengan hampir 90 persen korban ditembak mati dan seperempat dari mereka ditembak di kepala, menurut data dari kelompok advokasi dan media lokal.
Advertisement
Pembunuhan itu menimbulkan kemarahan dan memicu beberapa sanksi dari negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat, demikian dikutip dari laman Channel News Asia, Jumat (26/3/2021).
Penggunaan kekuatan militer terhadap warga sipil juga telah dikecam oleh beberapa tetangga Asia Tenggara.
"Kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan setiap hari," kata kelompok Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) nirlaba, yang telah mencatat ratusan kematian serta hampir 3.000 orang yang ditangkap, didakwa atau dijatuhi hukuman sejak kudeta.
Kelompok tersebut telah mencatat 320 kematian pada 25 Maret.
Datanya menunjukkan setidaknya 25 persen dari warga Myanmar yang tewas tewas akibat tembakan di kepala, menimbulkan kecurigaan bahwa mereka sengaja menjadi sasaran pembunuhan.
"Semuanya menunjuk pada pasukan yang mengadopsi taktik tembak-menembak untuk menekan protes," kata Amnesty International awal bulan ini.
Â
Saksikan Video Berikut Ini:
Respons Militer
Junta membantah menggunakan kekerasan yang berlebihan dan mengatakan bahwa tindakannya telah memenuhi norma internasional dalam menghadapi situasi yang dikatakannya sebagai ancaman bagi keamanan nasional.
Hampir 90 persen dari korban tewas adalah laki-laki. Sekitar 36 persen berusia 24 tahun ke bawah.
Korban termuda, Khin Myo Chit yang berusia tujuh tahun, ditembak mati di kota kedua Mandalay pada Selasa (23/3). Kala itu, ia berada di rumah bersama ayahnya.
Win Kyi (78) adalah warga Myanmar tertua yang tercatat tewas dan berada di antara sekitar 50 orang yang tewas di distrik Hlaing Thayar Yangon pada 14 Maret, hari paling berdarah sejauh ini.
Advertisement