Liputan6.com, Jakarta - Seorang ilmuwan lingkungan telah memperingatkan bahwa penis manusia menyusut, dan alat kelamin umumnya berubah bentuk saat lahir karena polusi udara.
Dilansir Mashable, Sabtu (27/3/2021), sebuah buku yang berjudul Count Down karya Dr. Shanna Swan, seorang profesor Kedokteran Lingkungan dan Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kedokteran Icahn di Rumah Sakit Mount Sinai, New York, mengungkapkan sebuah fakta.
Baca Juga
Dalam buku tersebut memperingatkan bahwa ftalat (senyawa kimia yang digunakan dalam pembuatan plastik) di udara menyebabkan manusia menderita efek samping seperti ukuran genital abnormal, disfungsi ereksi, jumlah sperma rendah, dan tingkat kesuburan yang sangat rendah.
Advertisement
Ftalat di udara juga berdampak pada sistem endokrin yang menghasilkan hormon yang dimaksudkan untuk mengatur hampir semua proses dalam tubuh.
Akibatnya, lebih banyak bayi dilahirkan dengan penis yang lebih kecil, tulis Swan.
Saksikan Video Berikut Ini:
Penelitian mengungkap ukuran penis lebih kecil karena ftalat
Bukunya meneliti bagaimana jumlah sperma serta organ reproduksi pria dan wanita dipengaruhi di era modern, dan bagaimana polusi berpotensi untuk membahayakan masa depan umat manusia.
Dalam penelitiannya, Swan mempelajari sindrom ftalat, yang pada tikus menyebabkan janin yang terpapar bahan kimia tersebut dilahirkan dengan alat kelamin yang lebih kecil.
Dalam kasus manusia, dia menemukan bahwa bayi laki-laki yang terpapar bahan kimia tersebut ketika di dalam rahim memiliki jarak anogenital yang lebih pendek, yang berarti volume penis lebih rendah.
Alasan mengapa hal ini terjadi adalah karena ftalat meniru hormon estrogen, yang kemungkinan menyebabkan terganggunya produksi hormon alami dalam tubuh manusia dan menyebabkan pengaruh buruk pada perkembangan organ seksual.
Mengenai bagaimana ftalat ini bahkan menjangkau bayi yang belum lahir, Swan berpikir bahwa bahan kimia - yang digunakan untuk membuat produk plastik lebih fleksibel - kemungkinan besar ditularkan melalui mainan dan makanan.
“Bayi yang kini memasuki dunia sudah tercemar zat kimia karena zat yang mereka serap di dalam rahim,” tulisnya dalam bukunya.
Temuan Swan didasarkan pada beberapa penelitian peer-review, salah satunya menemukan bahwa tingkat sperma di antara pria di negara-negara Barat telah turun lebih dari 50 persen selama empat dekade terakhir.
Yang lebih mengkhawatirkan, dia juga memperkirakan bahwa penurunan tingkat kesuburan yang begitu cepat dapat membuat sebagian besar pria menjadi tidak subur pada tahun 2045.
Reporter: Veronica Gita
Advertisement