Sukses

Beijing Jatuhkan Sanksi Untuk Ratusan Akademisi di China

Kementerian Luar Negeri China mengumumkan sanksi-sanksi itu minggu lalu terhadap para akademisi.

Liputan6.com, Beijing - Ratusan akademisi dan cendekiawan dari seluruh dunia menandatangani pernyataan bersama yang mendukung rekan-rekan Eropa yang dilarang oleh pemerintah China untuk datang ke negara itu, dan karya-karya mereka dikenai sanksi.

Kementerian Luar Negeri China mengumumkan sanksi-sanksi itu minggu lalu, antara lain terhadap Mercator Institute for China Studies di Jerman, the Alliance of Democracies Foundation di Denmark, serta berbagai lembaga dan individu lain, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Sabtu (3/4/2021).

Mereka dituduh “melemahkan kedaulatan dan kepentingan China, serta menyebarkan kebohongan dan disinformasi secara jahat.”

Ketika mengumumkan langkah itu, Kementerian Luar Negeri China mengatakan sanksi-sanksi itu merupakan tanggapan terhadap sanksi-sanksi yang diumumkan Inggris dan Uni Eropa sebelumnya terkait sikap China terhadap minoritas Uighur di kawasan Xinjiang, di bagian barat negara itu.

Kini para akademisi di seluruh Amerika, Eropa, dan Asia menambahkan nama mereka sebuah daftar yang semakin panjang dibawah sebuah pernyataan solidaritas dengan rekan-rekan mereka yang diboikot pemerintah China itu. Sebuah pernyataan serupa telah ditandatangani oleh 37 direktur dari lembaga penelitian di Eropa.

“Cukup merisaukan bahwa pemerintah China di bawah Xi Jin Ping berusaha membungkam diskusi mengenai topik-topik yang mereka nilai kontroversial di kalangan akademisi di China, termasuk Xinjiang, dan sekarang Hong Kong,” kata Profesor Martin Flaherty di Princeton University, salah satu dari hampir 1.000 akademisi di Eropa, Amerika Utara, dan Asia yang menandatangani pernyataan ini.

 

Saksikan Video Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Lembaga Terkemuka Dunia

Di antara mereka yang dikenai sanksi China ini adalah Jo Smith Finley, seorang antropolog dan ahli ilmu politik di Newcastle University di Inggris; Adrian Zenz, seorang akademisi Jerman di Victims of Communism Memorial Foundation; dan Björn Jerdén yang memimpin Pusat China Nasional di Swedia.

Di Washington, empat akademisi di salah satu lembaga kajian terkemuka Amerika, the Center for Strategic and International Studies (CSIS), ikut memberikan suara dengan pernyataan yang mendukung Mercator Institute.

"Kalau prasyarat China bagi hubungan yang stabil dengan Barat adalah semua akademisi setuju dengan posisi Beijing seputar Xinjiang, Hong Kong, Taiwan, Tibet, dan 'garis-garis merah' lain dan naratifnya – terlepas di mana atau dalam bahasa apa opini itu disebarluaskan – China sayangnya telah menutup pintu bagi pertukaran intelektual yang sesungguhnya," demikian bunyi pernyataan itu.